Tuesday, April 7, 2009

Meluruskan Cara Pandang Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Menuju Integrasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Masyarakat dan Lingkungan

Disampaikan dalam pada Diskusi Redesain Pendidikan berwawasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Masyarakat dan Lingkungan yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung tanggal 07 April 2009.

Oleh Asep Nursobah

Kalangan ahli pendidikan nampaknya sepakat bahwa framework pendidikan berwawasan ilmu pengetahuan, teknologi, masyarakat, dan lingkungan adalah bahwa mewujudkan individu, masyarakat, dan bangsa yang bertanggung jawab terhadap lingkungan sebagai tujuan utama pendidikan, yang di dalamnya tercakup berpikir kritis, pengambilan keputusan, penalaran dan tindakan moral-etik. Kebangkitan gagasan-gagasan tentang pentingnya pendidikan sains, teknologi, dan masyarakat yang berwawasan lingkungan, merupakan kesadaran atas kegagalan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan pembangunan masyarakat yang telah merusak kualitas lingkungan tempat tinggal masyarakat manusia yang hidup. Akibat dari pengembangan saintek yang tidak berwawasan lingkungan itulah manusia hidup menempati lingkungan yang tidak cocok lagi dengan kebutuhan hidup manusia.

Membicarakan lingkungan dapat diklasifikasikan ke dalam dua aspek. Pertama, lingkungan statis, yaitu lingkungan alam, dan kedua, lingkungan dinamis, yaitu lingkungan sosial (masyarakat). Kedua aspek lingkungan ini saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu banyak langkah yang ditempuh oleh kalangan ilmuwan untuk mencoba menyulam kembali pendekatan dalam merumuskan konsep pendidikan yang memperhatikan keharmonisan lingkungan seperti wacana pendidikan berwawasan multikultural, pendidikan civic, pendidikan berwawasan kesetaraan gender, pendidikan sains dan teknologi berwawasan lingkungan, dan pendidikan lingkungan. Inti dari gagasan-gagasan tersebut sebenarnya adalah pendidikan lingkungan.

‘Dosa’ terbesar terhadap lingkungan adalah dunia ekonomi, dan kekuasaan dunia politik kapitalis yang mengagung-agungkan keunggulan keuntungan material. Jadi, akar persoalan yang sesungguhnya terletak pada cara pandang kita terhadap realitas, yang terbentuk dalam mindset, dengan nalar yang selalu dalam ukuran materi, bahkan menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan materi dalam hitungan angka-angka. Jumlah materi juga menjadi ukuran kesuksesan. Seseorang dianggap sukses dan terpandang diukur dari perhitungan material. Kerakusan kita terhadap dunia material tersebut telah merubah cara pandang kita terhadap lingkungan; untuk meraih sebesar-besar keuntungan material, lingkungan tidak pernah dipedulikan; “Rebut, Rampas, dan Rusak!”

Dunia pendidikan ‘kena batunya’. Cara pandang kita terhadap pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi berlibihan, dan telah terperosok kepada jargon-jargon simbol material yang menghalalkan segala cara. Keberhasilan siswa dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan, seperti dengan Ujian Nasional (UN) yang secara khusus untuk menguji kemampuan siswa dalam mata pelajaran rumpun iptek. Cara pandang yang menempatkan skor UN sebagai ciri terpenting dari keberhasilan pendidikan nasional merupakan kekeliruan yang telah mengarahkan kita kepada praktik menghalalkan segala cara. Demikian juga pada saat kepentingan ekonomi dan kekuasaan mencampuri dunia pendidikan, tolok ukur itu dapat dimanipulasi, dihasilkan dari kecurangan dan kebohongan. Hal tersebut bukan terjadi pada para penyelenggara dan pengelola pendidikan saja, namun juga terjadi di masyarakat, dan siswa. Masyarakat, meskipun mereka lebih mengharapkan melalui proses pendidikan putera-puteri mereka menjadi putera-puteri yang shalih, namun mereka lebih mengukur bahwa keberhasilan sekolah adalah angka-angka yang tertuang dalam buku lapor pendidikan, dan ijazah sekolah. Nilai-nilai yang tertuang dalam buku laporan prestasi siswa dan ijazah sekolah juga terjadi inflasi seperti yang terjadi pada nilai uang dalam dunia ekonomi. Angkanya memang tertulis 70, 80, atau 100, namun kurang bernilai dibandingkan dengan kemampuan yang sesungguhnya. Patut diduga banyak kepala sekolah, para pejabat daerah, provinsi, dan pemerintah pusat merasa bangga dengan kepalsuan angka-angka Ujian Nasional dalam mata pelajaran rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menunjukkan bahwa ‘angkanya memang menunjukkan sistem pendidikan telah berhasil’. Saat ini dunia pendidikan sedang kehilangan moral reasoning-nya. Nalar moral dunia pendidikan sedang tidak rasional.

Meluruskan Cara Pandang terhadap IPTEK
1. IPTEK sebagai proses dan hasil pemikiran manusia untuk mencapai tujuan hidup yang serba nilai
Teknologi adalah penerapan pengetahuan secara sistematik. Untuk meluruskan cara pandang kita terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, kita bisa mengajukan salah satu model Arnold Pacey (1983) yang banyak menyarankan tentang revisi-revisi penting terhadap konsep teknologi. Pacey menyatakan bahwa: 1) kita terlalu sempit dalam merumuskan konsep teknologi, 2) teknologi tidak sama dengan teknis, 3) kita memerlukan konsep praktik teknologi (technology practice). Pandangan kita terhadap teknologi sering kali terlalu sederhana dalam hal hanya menunjuk kapada suatu alat, seperti mesin gergaji, kapak, palu, golok, dan pisau; atau kalkulator, komputer, telepon seluler, pesawat radio, dan televisi; magic jar, kompor gas, dan lain-lain. Kita menggunakan alat-alat tersebut melalui cara-cara (teknik) dalam praktik yang berlaku dalam kerangka budaya yang kita gunakan. Jadi sebenarnya teknologi tidak bisa terlepas dari praktik dalam suatu budaya. Itulah yang dimaksud oleh Pacey sebagai konsep praktik teknologi (technology practice), dengan tiga aspek yang saling berkaitan, yaitu: aspek teknis (technical aspect), aspek organisasi (organizational aspect), dan aspek budaya (cultural aspect). Aspek teknis meliputi pengetahuan, keterampilan dan teknik; alat, mesin, perkakas; sumber-sumber, produk dan limbah. Aspek organisasi meliputi aktivitas ekonomi dan industri; aktivitas profesional; pengguna; dan perdagangan internasional. Aspek kultural meliputi tujuan, nilai, kode etik, keyakinan tentang kemajuan, kepedulian, dan kreativitas.

Jadi berdasarkan gambaran model tersebut teknologi merupakan suatu paket proses dan hasil pemikiran manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup. Aspek terpenting dari paket tersebut adalah bagaimana manusia mengorientasikan kebutuhan hidupnya melalui budaya yang dianutnya, melalui perangkat sistem organisasinya, dengan cara-cara yang sesuai baik dengan budaya maupun organisasinya. Berdasarkan dalil Pacey itu kita dapat melihat bahwa kita sering kali mengadopsi iptek sebagai paket yang tidak utuh. Misalnya, kita menggunakan telepon seluler/hand phone dengan fitur yang sangat kompleks (sms, bicara, notes, internet, audio/video recorder, dan video player, dan lain-lain), padahal kebutuhan, dan aktivitas kita tidak begitu kompleks; nyaris hanya untuk keperluan sms, bicara, dan kebanyakannya untuk keperluan hiburan. Mungkin dengan alat-alat teknologi, kita baru sampai numpang keren (“agul ku payung butut, adean ku kuda beureum”). Pandangan kita terhadap teknologi, baru terbatas pada aspek tenkis, sebagai alat; dan memiliki nilai keren dalam budaya gila hormat, pupujieun, atau jaga imej (jaim).

Apakah dengan berkembangnya alat-alat teknologi yang semakin melengkapi produksi ekonomi, akan semakin mengarahkan kepada pembentukan mental manusia yang sempurna? Dengan memanfaatkan kemampuan mesin-mesin industeri otomatis, dengan kemewahan alat-alat transportasi ‘kelas pejabat’ apakah akan dapat memperbaiki mindset masyarakat? Akankah masyarakat semakin sadar lingkungan, semakin peduli terhadap sesama, semakin disiplin, dan semakin jujur? Bukti-bukti menunjukkan malah sebaliknya. Kemacetan lalulintas, bencana banjir dan longsor, pelecehan seksual, perampokan, dan pembunuhan malah lebih banyak dipicu oleh keserakahan manusia terhadap materi yang dibantu oleh alat-alat teknologi modern. Mungkin kita patut meragukan bahwa ide-ide kreatif yang membuat lingkungan menjadi harmoni dapat muncul sebagai akibat perkembangan alat-alat teknologi yang semakin sempurna.

Jadi, kita tidak perlu menunggu aspek teknis dari dari teknologi sempurna, melainkan kita perlu memikirkan alat-alat teknologi apa yang tepat untuk keperluan masyarakat menjadi lebih baik, dan bertanggung jawab. Tidak perlu menunggu kaya terlebih dahulu untuk bisa bersedekah, peduli kepada penderitaan orang lain, atau untuk menjadi tertib di lingkungan sekitar. Kita perlu merubah kerangka berpikir kita: dengan cara dan alat apa kita dapat melakukan aktivitas terbaik sesuai dengan sumber-sumber yang tersedia di lingkungan sekitar untuk mencapai cita-cita yang kita tetapkan. Dari kesadaran itulah kita dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebab ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hasil artikulasi simbol-simbol yang ada di lingkungan sekitar tempat tinggal manusia melalui wacana rasionalisme berpikir. Penuturan terhadap simbol-simbol itu akan sangat bergantung kepada konteks fenomenologis ilmuwan yang melahirkannya. Fenomena mastery learning, tutorial, misalnya, sebagai bentuk artikulasi ilmuwan pendidikan Barat yang aplikasi konkritnya sebenarnya telah lama digunakan dalam model pembelajaran di pesantren. Ketika konsep tersebut disebarkan di lingkungan madrasah yang sangat lekat dengan budaya pesantren, malah menjadi bingung, padahal dunia pesantren sudah lebih lama mengenal istilah khatam untuk mastery learning, melalui metodel sorogan (tutorial).

Milton Rokeach (1973) mendefinisikan nilai sebagai keyakinan yang dipertahankan pada bentuk-bentuk perilaku (berani, jujur, taat, cinta, dll.), atau keadaan (damai, kesejajaran, kebebasan, senang, bahagia) yang diharapkan secara personal dan sosial. Dengan demikian, semestinya dengan menggunakan teknologi dapat meningkatkan nilai, seperti hemat, efisien, efektif, baik, beradab, dan lain-lain; bukan sebaliknya.


2. Memahami Masalah Secara Utuh
Dalam mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyelesaikan suatu masalah, sering kali tidak utuh mendudukperkarakannya. Misalnya, dalam melihat pelecehan seksual, diskriminasi gender, atau konflik antar suku, sebagai masalah lingkungan (masyarakat) yang tidak adil. Dalam hal ini kita mudah terjebak oleh issu-issu yang sangat parsial. Di satu pihak ada cita-cita agar derajat manusia dihargai, namun di pihak lain secara tidak sadar kita menggunakan ‘teknologi-teknologi’ yang sangat memberikan kemungkinan antar manusia dapat saling melecehkan. Dalam hal ini kita terjebak hanya melihat unsur organisasinya saja. Misalnya pengurangan siaran televisi yang lebih banyak mengeksploitasi pesan-pesan kekerasan dan pesan-pesan pelecehan seksual, hampir tidak pernah menjadi bagian perjuangan para pejuang kesetaraan gender. Keadaan demikian menunjukkan bahwa aspek kultur yang hanya menjadi perhatian, sementara teknis dilupakan.

Apa yang dapat memadukan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Masyarakat dan Lingkungan yang Integratif dalam Pendidikan?

Bersama Islam harapan itu masih ada. Agama Islam yang menegaskan bahwa fungsi utama manusia sebagai hamba Allah dan pemimpin (khalifah) di muka bumi memperjelas bahwa tujuan utama pendidikan adalah mewujudkan manusia yang bertanggung jawab kepada Tuhannya sebagai pemilik dan pemberi mandat kepemimpinan di muka bumi tentang apa yang telah dijalankannya sebagai tugas dan fungsi pemimpin.

Ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan dan ditransformasikan dari satu generasi kepada generasi selanjutnya melalui proses pendidikan. Nilai pendidikan iptek adalah nilai-nilai ketelitian, ketaatan terhadap probabilitas yang ada dalam hukum kausal, dan kesungguh-sungguhan berpikir sistematik-sistemik, dan holistik. Bila nalar moral tidak rasional, maka sesungguhnya nilai-nilai pendidikan iptek menjadi tidak berlaku, yang akibatnya adalah mengajarkan kebohongan, dan kecurangan. Jadi, masalah kepedulian yang rendah terhadap lingkungan sesungguhnya berawal dari penyebab mindset yang telah terkooptasi oleh pandangan tentang kesuksesan yang harus selalu terukur oleh angka-angka yang menunjukkan jumlah materi.

Pendidikan Islam menekankan kepada nilai-nilai bahwa tujuan utama hidup manusia adalah untuk mencapai nilai diridoi Allah. Benar, nilai ini memang sangat abstrak, namun kita bisa mencapainya melalui langkah-langkah konkrit. Jadi ukurannya ialah ukuran kualitas proses, berkaitan dengan cara-cara yang digunakan dalam sutau proses.

Demikian pula Islam menempatkan bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia, dan lingkungan yang dikelolanya adalah semata untuk mewujudkan rahmat Allah bagi semua alam. Dengan demikian pendidikan perlu dilakukan dalam proses tarbiyah seperti Allah sebagai Rabb telah melakukannya.

Pendidikan dapat dilakukan melalui proses-proses sistematis dan sistemik, untuk menjawab berbagai persoalan lingkungan manusia untuk mencapai keseimbangan dan keteraturan berdasarkan ketetapan Allah SWT. Proses pembelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan keseluruan rangkaian upaya manusia memperoleh kemudahan dalam menjalankan fungsi sebagai khalifah di muka bumi, oleh karena itu dalam setiap langkah pendidikan, perlu menunjukkan keterkaitan dengan aspek manfaat bagi lingkungan manusia.

Wallahu A’lam bi al-Shawab