Sejak saya menjadi siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) sudah
sering mendengar bahwa kalangan orang-orang Barat sangat kuat dalam budaya
membaca. Waktu-waktu senggang, seperti pada waktu menunggu
kedatangan kendaraan yang akan mereka tumpangi, orang-orang Barat
memanfaatkannya dengan membaca. Demikian pula selama mereka berada di dalam bus,
kereta, atau pesawat udara senantiasa tidak lepas dari membaca. Bahkan Prof.
Udin S. Winataputra menyaksikan di Australia penumpang bus yang berdiri pun
bisa sambil membaca buku. Oleh karena karakter mereka demikian, maka wajar saja
mereka menjadi bangsa yang maju.
Dalam pikiran saya, bangsa Indonesia semakin jauh dari
budaya membaca. Dengan perkembangan teknlogi informasi yang semakin maju, malah
budaya yang lebih berkembang adalah budaya main-main (games), malas, dan
pemborosan waktu. Dalam beberapa kali kesempatan di bulan Mei ini, saya
menemukan kasus-kasus pemalasan tersebut.
1.
Sekitar dua minggu lalu saya
bertemu seorang anggota dari salah satu satuan Angkatan Bersenjata dengan
pangkat Prajurit Dua sedang duduk di “smoking area” pada bus yang saya tumpangi
dari Bandung menuju bandara udara Soekarno Hatta. Ia dengan serius memandangi
layar Tablet yang ada di tangannya. Dalam benak saya, “wah hebat” Prajurit Dua sudah
sangat melek informasi. Ternyata setelah saya menyapanya, ia sedang asyik
bermain (game).
2.
Pemandangan yang amat
kontras juga saya temui dalam perjalanan sore tadi.
Di tempat ruang tunggu keberangkatan pesawat di bandara udara Ngurah Rai ada
satu pojok yang diduduki beberapa remaja turis asing dengan pakaian nampak “asal-asalan”
asyik membaca buku, sementara itu di barisan paling depan ada ibu muda berkerudung
dan berpakaian rapih yang sedang asyik juga dengan PC-Tablet. Ternyata Ibu
tersebut menggunakan PC-Tabletnya untuk program game balap motor (bahkan
dengan menggunakan suara).
Setelah
transit di bandara udara Juanda, seorang remaja duduk di kursi depan saya
sebelah kiri. Sebelum duduk, ia dengan cekatan mematikan telefon seluler dan dimasukkan
ke saku tas gendongnya. Dari kantong tas tersebut, ia juga mengeluarkan nintendo,
dan kesibukannya pun berganti dengan game pertandingan tenis lapangan. Ibu jari kedua
tangannya dengan penuh semangat dihentak-hentakkan ke tombol-tombol nintendo.
Sesekali mengernyitkan dahi, membengkokan bibir, berujar “uh”, dan sesekali
tersenyum. Setelah game berlangsung kira-kira 30 menit ia memasukan
nintendo ke sakunya, meletakan kepalanya ke sandaran kursi dan tidak lama
berselang ia tidur.
Dalam beberapa kesempatan saya mendengar Prof. Udin S.
Winataputra berpendapat bahwa kebiasaan orang Indonesia di kendaraan adalah ngobrol
dan/atau tidur. Saya “setuju Prof.!”,
memang begitu pada umumnya bangsa kita, obrolannya pun kadang-kadang
nyerempet-nyerempet ke obrolan berbau “seronok”. Dengan meningkatnya
kecanggihan teknologi informasi yang digunakan bangsa kita (Indonesia tercinta)
malah menjadikan kita semakin tidak cerdas memanfaatkan waktu, dan tidak cerdas
dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk kemajuan pribadi dan bangsa.
Berdasarkan pengalaman tersebut, saya ajukan hipotesis “pemanfaatan
kecanggihan teknologi yang tidak cerdas, mengakibatkan karakter bangsa yang semakin buruk, dan menjadi bangsa yang
tertinggal.”
Hehe.. mari kita uji hipotesis tersebut!