Oleh Asep Nursobah Saya kaget, dan bercampur rasa marah yang tertahan. Anak saya sepulang sekolah untuk pertama kalinya belajar Bahasa Inggris di kelas 1 SD mengeluh bahwa bahasa Inggris susah. Sampai-sampai selepas magrib tidak mau belajar bahasa Inggris, dengan alasan bahasa Inggris susah. Saya periksa buku tulis catatan bahasa Inggrisnya. Astagfirullah…, Innaa lillahi wa inna ilaihi raaji'un. Kok, anak yang baru masuk kelas 1 SD sudah dituntut untuk dapat menulis frase bahasa Inggris dengan tepat. Sampai-sampai guru mengoreksi ketepatan menggunakan huruf untuk menuliskan frase bahasa Inggris yang ditugaskan kepada anak. Lalu saya telepon guru kelasnya. Saya tanyakan apa yang sesungguhnya menjadi target pembelajaran bahasa Inggris di kelas 1 SD. Saya harus berkonsultasi dengan guru bahasa Inggris yang mengajar anak saya. Kata Erikson ahli perkembangan psiko-sosial, anak SD merupakan usia pada tahap "industri", yang pada pokoknya adalah 'sense of mastery' merasa mampu, atau senang dengan pengalaman tertentu. Hampir dalam setiap kelas perkuliahan mahasiswa fakultas Tarbiyah dan Keguruan yang saya ampu, saya senantiasa mengingatkan bahwa pengalaman belajar bagi anak SD merupakan fondasi utama "pengalaman pertama yang menentukan". Misalnya, bila anak SD di awal perkenalannya dengan bahasa inggris mencapai perasaan bahwa "bahasa Inggris itu menyenangkan, mudah, dan mengasyikkan" dapat diprediksi untuk seterusnya anak akan senang dengan bahasa Inggris. Kalau sebaliknya, itulah yang bahaya. Akan sangat sulit anak untuk menyenangi bahasa Inggris. Guru SD/MI merupakan pihak pertama yang bertanggung jawab menyuguhkan "madu yang menyehatkan" atau "racun yang membahayakan" bagi perkembangan kompetensi dan/atau kepribadian anak, berkaitan dengan kemampuan baru yang dipelajari di sekolah. Tahun ini anak saya mulai masuk di Sekolah Dasar. Jauh sebelumnya, seperti orangtua pada umumnya, saya menggunakan berbagai pertimbangan untuk "mempertaruhkan masa depan" hidup anak ke sekolah yang diperkirakan akan mampu mengarahkan potensi yang dimilikinya secara wajar. First day school, kira-kira begitulah sebutan yang sering dilontarkan orang pada saat hari pertama sekolah dimulai terutama bagi anak yang baru masuk SD. Tanggal 14 Juli 2008 merupakan hari bersejarah bagi anak saya dan anak-anak Indonesia yang berusia 7 tahun pada umumnya. Mereka mulai "menceburkan diri ke dalam carut marut" sistem pendidikan nasional pada jalur formal dengan masuk ke jenjang SD/MI. Anak saya belum sepenuhnya bisa mandiri, ternyata masih harus ditunggui oleh ibunya di samping kelas. Hari ketiga, saya senang karena ternyata anak sudah tidak mau lagi ditunggui. Dengan harapan untuk mengurangi carut marut itu, saya pilih salah satu SD swasta di Bandung tidak jauh dari tempat tinggal. Kata orang SD/MI negeri dan swasta di Indonesia pada umumnya, kalau dalam pelayanan kesehatan masyarakat mirip PUSKESMAS atau Rumah Sakit Umum Daerah (ya… "pada umumnya" juga). Kelangsungan sekolah-sekolah dan pelayanan kesehatan "pada umumnya" itu sangat bergantung kepada kebijakan pemerintah, terutama masalah biaya dan sarana prasarana, yang ternyata sering kali serba kurang memadai sehingga menjadi keluhan para pengelolanya, ketika tidak menunjukkan kinerja yang lebih baik. Jadi, saya pilihkan untuk anak tersebut SD swasta yang "agak mahal" dibanding SD/MI pada umumnya, dengan harapan aspek keluhan carut-marut sarana prasarana dan biaya dapat dikurangi. Dengan adanya partisipasi biaya orang tua siswa yang agak mahal di SD swasta itu, diharapkan guru-gurunya dapat mendidik anak dengan lebih serius dan menunjukkan kinerja yang optimal, sarana prasarana terpenuhi, dan sumber belajar yang lebih baik. Tentunya kinerja guru dan sekolah berkaitan dengan tanggung jawab mendidik berdasarkan teori-teori dan prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran yang "shohih". Kira-kira begitulah harapan saya. Anak saya tidak memiliki kecerdasan yang luar biasa, namun demikian dengan pendidikan yang bertanggung jawab diharapkan potensi anak dapat berkembang dengan optimal sehingga kelak memiliki kepribadian yang baik yang bisa dibanggakan oleh diri anak sendiri. Saya salut dengan usaha isteri saya untuk selalu membimbing anak setiap petang (selepas Magrib sampai menjelang shalat Isya) dan pagi (selepas shalat subuh). Anak dibimbing untuk memilih, menyiapkan dan mempelajari bahan-bahan pelajaran yang akan dipelajari setiap harinya sesuai dengan jadwal yang sudah diatur oleh sekolah, dari buku-buku paket yang dibeli dari sekolah dengan lumayan mahal itu. Anak cukup senang, antusias, dan penuh semangat. Ada beberapa kendala kemalasan dan tidak percaya diri anak, namun hal itu dapat diatasi. Saya juga sedikit-sedikit ikut melibatkan diri untuk memperhatikan apa yang dipelajari anak, serta sumber-sumber belajar yang tersedia dari sekolah itu. Suatu ketika perhatian saya tertuju pada buku mata pelajaran bahasa Inggris (bahasa Inggris kelas 1 SD yang disusun oleh guru sekolah tersebut). Bagus, banyak gambarnya, sesuai dengan keadaan anak usia kelas 1 SD, yang masih berpikir konkrit kata Piaget. Salah satunya ada gambar perempuan, dan di sebelah kanannya ada kotak penjelasan, tentang name, age, father, dan mother. Untuk keterangan age ternyata 7 (menjelaskan bahwa perempuan pada gambar tersebut berusia 7 tahun). Ada satu lagi gambar perempuan yang keterangan age-nya 8 (menerangkan bahwa gambar perempuan tersebut berusia delapan tahun). Saya tertarik untuk mengomentari kedua gambar tersebut, "kedua gambar perempuan tersebut nampak sekitar usia di atas 20 tahun". "Apa jadinya yah? Anak saya nanti bisa jadi menganggap ibunya (isteri saya) baru 7 atau 8 tahun." Ha ha ha… Asosiasi berpikir anak terhadap objek-objek konkrit, menurut Piaget, merupakan tahap berpikir untuk mencapai tingkatan berpikir yang lebih tinggi (operasional formal). Jadi kalau sampai terjadi asosiasi yang salah di usia SD, kira-kira ada kemungkinan berakibat terhadap kerancuan berpikir anak pada tahap sekolah lanjutannya. Itulah tanggung jawab pendidik dalam menentukan masa depan cara berpikir anak. Satu, dua, tiga, dan seterusnya adalah konsep yang sangat abstrak. Satu tahun, dua tahun, tiga tahun, dan seterusnya sudah merupakan gabungan konesp bilangan dengan tahun yang sama-sama abstraknya. Bagi anak usia kelas 1 SD pada tema diri sendiri, misalnya: saya lahir tahun berapa, sekarang tahun berapa, jadi usia saya sekarang berapa tahun, semua itu makin rumit lagi. Proses berpikir seperti demikian merupakan tahap berpikir formal. Dikonkritkan? Bagaimana, yah? Menghubungkan usia dengan wajah seseorang juga agak rumit, karena hal itu tahap berpikir formal; menghubungkan konsep bilangan, tahun, dengan fakta diri seseorang. Dalam bahasa yang cukup asing, lagi! Belum waktunya buat mereka! Banyak lagi gambar-gambar yang ada di buku bahasa Inggris kelas 1 SD tersebut, dan kolom-kolom isian di samping gambar-gambar. Saya menduga-duga, buat apa kolom isian itu? Untuk diisi oleh anak dengan menuliskan kalimat-kalimat (dalam bahasa Inggris) yang tepat sesuai dengan gambar? Kira-kira begitu yang saya duga-duga. Sewaktu anak belum sempat memulai jadwal pelajaran bahasa Inggris di SD-nya, saya berpikir mudah-mudahan dugaan saya salah. Wah, bahaya kalau dugaan itu benar. Bahaya buat anak. Anak kelas 1 SD, menulis dan membaca kalimat dalam bahasa Indonesia saja belum lancar, apalagi bahasa Inggris. Ternyata dugaan itu benar adanya. Jadi, pertama, guru tidak memperhatikan karakteristik kemampuan awal siswa. Artinya anak baru masuk kelas 1 SD, kemampuan menulis bahasa Indonesia saja belum tuntas (bisa jadi sudah cukup sulit), apalagi menulis bahasa Inggris (makin sulit dan susah saja). Kedua, ilustrasi konsep-konsep dan fakta-fakta yang dipelajari, dalam beberapa hal tidak cocok untuk tingkat berpikir anak kelas 1 SD. Ketiga, kompetensi kebahasaan yang dipelajari anak bukan diawali dari kemampuan menulis. Kita belajar bahasa Sunda (bagi orang Sunda) bukan dari belajar menuliskannya, tapi belajar mengucapkannya tanpa tulisan (mendengarkan dan mengucapkan). Demikian pula dalam bahasa Inggris. Perhatikan rambu-rambu kurikulum bahasa Inggris yang dimulai untuk Kelas IV SD pada lampiran Permendiknas No. 22 tahun 2006 berikut ini. Tujuan: Tabel 1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Kelas IV, Semester 1 Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Kemampuan menulis di sini diajarkan, karena untuk siswa kelas IV semester 1 memiliki kemampuan relatif menulis dalam bahasa Indonesia sebagai dasar untuk menulis kosa kata dan frase bahasa Inggris. Selanjutnya saya perhatikan juga kurikulum yang menjadi acuan pembelajaran (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar) bahasa Inggri Kelas 1 SD tersebut, sebagaimana tabel 2. Ya, sama dengan yang ada pada tabel 1., meliputi kompetensi mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis, karena memang kata ahli pendidikan bahasa, begitulah ruang lingkup kemampuan bebahasa. Tingkat kemampuannya? Itulah yang sedikit rancu. "Mampu mendengarkan dan memahami ragam kata lisan" (tabel 2) merupakan kemampuan yang lebih tinggi dari pada "Memahami instruksi sangat sederhana dengan tindakan dalam konteks kelas" (tabel 1). Kalau objeknya, ya jelas lebih luas tabel 1 (ruang lingkup kelas) dari pada tabel 2 (diri sendiri). TABEL 2. STANDAR KOMPETENSI INGGRIS KELAS 1 SEMESTER GASAL No. Standar Kompetensi Kompetensi dasar 1. Mendengarkan Mampu mendengarkan dan memahami ragam kata lisan dengan cara mendengarkan berbagai bunyi bahasa serta melakukan sesuatu sesuai perintah dalam konteks diri sendiri. 1.1. Mendengarkan dan memahami ragam kata lisan dalam konteks diri sesuai tema: diri sendiri, keluargaku, Iingkunganku dan pengalaman. 1.2. Mendengarkan dan memahami ragam kata lisan dalarn konteks diri sesuai tema: kegiatan sehari-hari, kebersihan dan kesehatan, kebutuhan, peristiwa dan melakukan sesuatu sesuai penintah. 2. Berbicara Mampu memperkenalkan diri, menyapa, menyatakan suka atau tidak suka dan pengalaman dalam konteks dirt sendini. 2.1. Menyatakan ungkapan perkenalan, menyapa, benda-benda dan pengalaman melalui tindak tutur. 2.2. Mengungkapkan kegiatan, benda-benda, penistiwa dan pengalaman sesuai tema. 3. Membaca Mampu membaca bersuara dan pemahaman kata dan kalimat pendek dalam konteks diri sendiri. 3.1. Membaca nyaring kata dan kalimat pendek dalam konteks diri sendiri sesuai tema: diri sendiri, keluargaku, lingkunganku dan pengalaman. 3.2. Membaca pemahaman kata dan kalimat pendek sesuai tema: kegiatan sehari-hari, kebersihan, kebutuhan dan peristiwa. 4. Menulis Mampu menulis huruf, kata, angka dan kalimat sesuai contoh dalam konteks diri sendiri. 4.1. Menulis kosa kata dan kalimat dalam konteks diri sesuai tema. 4.2. Menyalin dan melengkapi kalimat pendek sesuai tema. Pada pertemuan pertama anak sudah belajar menulis? Wes, wes, wesss…., kurikulum buat anak siapa, ini? Untuk anak-anak di sekolah Inggris, Amerika, dan Singapura, kali, ya.., atau untuk anak cucu Enstein dan Habibie yang pada cerdas-cerdas kali, ya…! Atau Mimipi, kali.. Wallahu A'lamu bi-al-Shawab.
secara terbatas untuk mengiringi tindakan (language accompanying action) dalam konteks sekolah.
Mendengarkan
Berbicara
Membaca
Menulis
Monday, July 28, 2008
MENANTI SETITIK HARAPAN DARI SEKOLAH DASAR DAN MADRASAH IBTIDAIYAH (SD/MI)
Posted by Educational Development at 9:59 PM 0 comments
Thursday, July 24, 2008
E-Pendidikan
Tampilan ini merupakan link dari sumber lain. Bagi anda yang merasa kesulitan membaca di halaman ini, bisa mengikuti link dan mendownload sumbernya sebagaimana tercantum di bawah frame ini, e-Pendidikan
Posted by Educational Development at 3:48 AM 3 comments
Sunday, July 20, 2008
TIK Untuk Pembelajaran
Tampilan ini merupakan link dari sumber lain. Bagi anda yang merasa kesulitan membaca di halaman ini, bisa mengikuti link dan mendownload sumbernya sebagaimana tercantum di bawah frame ini, TIK Untuk Pembelajaran
Posted by Educational Development at 10:35 PM 3 comments
Friday, July 18, 2008
Modul Online -
Pemanfaatan Internet untuk pembelajaran sebenarnya bukan hanya untuk mencari informasi, tetapi sekaligus untuk sumber belajar. Edukasi.net sebagai situs yang secara serius disiapkan untuk keperluan pembelajaran sudah cukup memadai untuk sumber belajar. Namun demikian, saya kira masih beberapa sekolah saja yang sudah siap dengan perangkat untuk memanfaatkannya.
untuk mengetahui ketersediaan bisa link ke edukasi.net.
Modul Online -
Posted by Educational Development at 3:06 AM 0 comments
Thursday, July 17, 2008
Madrasah Mendapat Perhatian Anggota DPR
Akibat dari rendahnya kelulusan Siswa Madrasah dalam UAN, kini terlontar dari salah seorang anggota DPR tentang pentingnya Mata Pelajaran Agama dijadikan mata pelajaran yang di-UAN-kan. Buat apa? Lihat saja di dpr.go.id.
dpr.go.id
Posted by Educational Development at 5:41 AM 0 comments
Friday, July 11, 2008
Modul Pelatihan Pemanfaatan TIK untuk Pembelajaran Tingkat Nasional
http://www.scribd.com/doc/3607548/-edukasinet
Posted by Educational Development at 4:44 AM 0 comments
Pengembangan Pendidikan: Modul Pelatihan Pemanfaatan TIK untuk Pembelajaran Tingkat Nasional
Posted by Educational Development at 4:43 AM 0 comments