Tuesday, April 7, 2009

Meluruskan Cara Pandang Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Menuju Integrasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Masyarakat dan Lingkungan

Disampaikan dalam pada Diskusi Redesain Pendidikan berwawasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Masyarakat dan Lingkungan yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung tanggal 07 April 2009.

Oleh Asep Nursobah

Kalangan ahli pendidikan nampaknya sepakat bahwa framework pendidikan berwawasan ilmu pengetahuan, teknologi, masyarakat, dan lingkungan adalah bahwa mewujudkan individu, masyarakat, dan bangsa yang bertanggung jawab terhadap lingkungan sebagai tujuan utama pendidikan, yang di dalamnya tercakup berpikir kritis, pengambilan keputusan, penalaran dan tindakan moral-etik. Kebangkitan gagasan-gagasan tentang pentingnya pendidikan sains, teknologi, dan masyarakat yang berwawasan lingkungan, merupakan kesadaran atas kegagalan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan pembangunan masyarakat yang telah merusak kualitas lingkungan tempat tinggal masyarakat manusia yang hidup. Akibat dari pengembangan saintek yang tidak berwawasan lingkungan itulah manusia hidup menempati lingkungan yang tidak cocok lagi dengan kebutuhan hidup manusia.

Membicarakan lingkungan dapat diklasifikasikan ke dalam dua aspek. Pertama, lingkungan statis, yaitu lingkungan alam, dan kedua, lingkungan dinamis, yaitu lingkungan sosial (masyarakat). Kedua aspek lingkungan ini saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu banyak langkah yang ditempuh oleh kalangan ilmuwan untuk mencoba menyulam kembali pendekatan dalam merumuskan konsep pendidikan yang memperhatikan keharmonisan lingkungan seperti wacana pendidikan berwawasan multikultural, pendidikan civic, pendidikan berwawasan kesetaraan gender, pendidikan sains dan teknologi berwawasan lingkungan, dan pendidikan lingkungan. Inti dari gagasan-gagasan tersebut sebenarnya adalah pendidikan lingkungan.

‘Dosa’ terbesar terhadap lingkungan adalah dunia ekonomi, dan kekuasaan dunia politik kapitalis yang mengagung-agungkan keunggulan keuntungan material. Jadi, akar persoalan yang sesungguhnya terletak pada cara pandang kita terhadap realitas, yang terbentuk dalam mindset, dengan nalar yang selalu dalam ukuran materi, bahkan menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan materi dalam hitungan angka-angka. Jumlah materi juga menjadi ukuran kesuksesan. Seseorang dianggap sukses dan terpandang diukur dari perhitungan material. Kerakusan kita terhadap dunia material tersebut telah merubah cara pandang kita terhadap lingkungan; untuk meraih sebesar-besar keuntungan material, lingkungan tidak pernah dipedulikan; “Rebut, Rampas, dan Rusak!”

Dunia pendidikan ‘kena batunya’. Cara pandang kita terhadap pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi berlibihan, dan telah terperosok kepada jargon-jargon simbol material yang menghalalkan segala cara. Keberhasilan siswa dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan, seperti dengan Ujian Nasional (UN) yang secara khusus untuk menguji kemampuan siswa dalam mata pelajaran rumpun iptek. Cara pandang yang menempatkan skor UN sebagai ciri terpenting dari keberhasilan pendidikan nasional merupakan kekeliruan yang telah mengarahkan kita kepada praktik menghalalkan segala cara. Demikian juga pada saat kepentingan ekonomi dan kekuasaan mencampuri dunia pendidikan, tolok ukur itu dapat dimanipulasi, dihasilkan dari kecurangan dan kebohongan. Hal tersebut bukan terjadi pada para penyelenggara dan pengelola pendidikan saja, namun juga terjadi di masyarakat, dan siswa. Masyarakat, meskipun mereka lebih mengharapkan melalui proses pendidikan putera-puteri mereka menjadi putera-puteri yang shalih, namun mereka lebih mengukur bahwa keberhasilan sekolah adalah angka-angka yang tertuang dalam buku lapor pendidikan, dan ijazah sekolah. Nilai-nilai yang tertuang dalam buku laporan prestasi siswa dan ijazah sekolah juga terjadi inflasi seperti yang terjadi pada nilai uang dalam dunia ekonomi. Angkanya memang tertulis 70, 80, atau 100, namun kurang bernilai dibandingkan dengan kemampuan yang sesungguhnya. Patut diduga banyak kepala sekolah, para pejabat daerah, provinsi, dan pemerintah pusat merasa bangga dengan kepalsuan angka-angka Ujian Nasional dalam mata pelajaran rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menunjukkan bahwa ‘angkanya memang menunjukkan sistem pendidikan telah berhasil’. Saat ini dunia pendidikan sedang kehilangan moral reasoning-nya. Nalar moral dunia pendidikan sedang tidak rasional.

Meluruskan Cara Pandang terhadap IPTEK
1. IPTEK sebagai proses dan hasil pemikiran manusia untuk mencapai tujuan hidup yang serba nilai
Teknologi adalah penerapan pengetahuan secara sistematik. Untuk meluruskan cara pandang kita terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, kita bisa mengajukan salah satu model Arnold Pacey (1983) yang banyak menyarankan tentang revisi-revisi penting terhadap konsep teknologi. Pacey menyatakan bahwa: 1) kita terlalu sempit dalam merumuskan konsep teknologi, 2) teknologi tidak sama dengan teknis, 3) kita memerlukan konsep praktik teknologi (technology practice). Pandangan kita terhadap teknologi sering kali terlalu sederhana dalam hal hanya menunjuk kapada suatu alat, seperti mesin gergaji, kapak, palu, golok, dan pisau; atau kalkulator, komputer, telepon seluler, pesawat radio, dan televisi; magic jar, kompor gas, dan lain-lain. Kita menggunakan alat-alat tersebut melalui cara-cara (teknik) dalam praktik yang berlaku dalam kerangka budaya yang kita gunakan. Jadi sebenarnya teknologi tidak bisa terlepas dari praktik dalam suatu budaya. Itulah yang dimaksud oleh Pacey sebagai konsep praktik teknologi (technology practice), dengan tiga aspek yang saling berkaitan, yaitu: aspek teknis (technical aspect), aspek organisasi (organizational aspect), dan aspek budaya (cultural aspect). Aspek teknis meliputi pengetahuan, keterampilan dan teknik; alat, mesin, perkakas; sumber-sumber, produk dan limbah. Aspek organisasi meliputi aktivitas ekonomi dan industri; aktivitas profesional; pengguna; dan perdagangan internasional. Aspek kultural meliputi tujuan, nilai, kode etik, keyakinan tentang kemajuan, kepedulian, dan kreativitas.

Jadi berdasarkan gambaran model tersebut teknologi merupakan suatu paket proses dan hasil pemikiran manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup. Aspek terpenting dari paket tersebut adalah bagaimana manusia mengorientasikan kebutuhan hidupnya melalui budaya yang dianutnya, melalui perangkat sistem organisasinya, dengan cara-cara yang sesuai baik dengan budaya maupun organisasinya. Berdasarkan dalil Pacey itu kita dapat melihat bahwa kita sering kali mengadopsi iptek sebagai paket yang tidak utuh. Misalnya, kita menggunakan telepon seluler/hand phone dengan fitur yang sangat kompleks (sms, bicara, notes, internet, audio/video recorder, dan video player, dan lain-lain), padahal kebutuhan, dan aktivitas kita tidak begitu kompleks; nyaris hanya untuk keperluan sms, bicara, dan kebanyakannya untuk keperluan hiburan. Mungkin dengan alat-alat teknologi, kita baru sampai numpang keren (“agul ku payung butut, adean ku kuda beureum”). Pandangan kita terhadap teknologi, baru terbatas pada aspek tenkis, sebagai alat; dan memiliki nilai keren dalam budaya gila hormat, pupujieun, atau jaga imej (jaim).

Apakah dengan berkembangnya alat-alat teknologi yang semakin melengkapi produksi ekonomi, akan semakin mengarahkan kepada pembentukan mental manusia yang sempurna? Dengan memanfaatkan kemampuan mesin-mesin industeri otomatis, dengan kemewahan alat-alat transportasi ‘kelas pejabat’ apakah akan dapat memperbaiki mindset masyarakat? Akankah masyarakat semakin sadar lingkungan, semakin peduli terhadap sesama, semakin disiplin, dan semakin jujur? Bukti-bukti menunjukkan malah sebaliknya. Kemacetan lalulintas, bencana banjir dan longsor, pelecehan seksual, perampokan, dan pembunuhan malah lebih banyak dipicu oleh keserakahan manusia terhadap materi yang dibantu oleh alat-alat teknologi modern. Mungkin kita patut meragukan bahwa ide-ide kreatif yang membuat lingkungan menjadi harmoni dapat muncul sebagai akibat perkembangan alat-alat teknologi yang semakin sempurna.

Jadi, kita tidak perlu menunggu aspek teknis dari dari teknologi sempurna, melainkan kita perlu memikirkan alat-alat teknologi apa yang tepat untuk keperluan masyarakat menjadi lebih baik, dan bertanggung jawab. Tidak perlu menunggu kaya terlebih dahulu untuk bisa bersedekah, peduli kepada penderitaan orang lain, atau untuk menjadi tertib di lingkungan sekitar. Kita perlu merubah kerangka berpikir kita: dengan cara dan alat apa kita dapat melakukan aktivitas terbaik sesuai dengan sumber-sumber yang tersedia di lingkungan sekitar untuk mencapai cita-cita yang kita tetapkan. Dari kesadaran itulah kita dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebab ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hasil artikulasi simbol-simbol yang ada di lingkungan sekitar tempat tinggal manusia melalui wacana rasionalisme berpikir. Penuturan terhadap simbol-simbol itu akan sangat bergantung kepada konteks fenomenologis ilmuwan yang melahirkannya. Fenomena mastery learning, tutorial, misalnya, sebagai bentuk artikulasi ilmuwan pendidikan Barat yang aplikasi konkritnya sebenarnya telah lama digunakan dalam model pembelajaran di pesantren. Ketika konsep tersebut disebarkan di lingkungan madrasah yang sangat lekat dengan budaya pesantren, malah menjadi bingung, padahal dunia pesantren sudah lebih lama mengenal istilah khatam untuk mastery learning, melalui metodel sorogan (tutorial).

Milton Rokeach (1973) mendefinisikan nilai sebagai keyakinan yang dipertahankan pada bentuk-bentuk perilaku (berani, jujur, taat, cinta, dll.), atau keadaan (damai, kesejajaran, kebebasan, senang, bahagia) yang diharapkan secara personal dan sosial. Dengan demikian, semestinya dengan menggunakan teknologi dapat meningkatkan nilai, seperti hemat, efisien, efektif, baik, beradab, dan lain-lain; bukan sebaliknya.


2. Memahami Masalah Secara Utuh
Dalam mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyelesaikan suatu masalah, sering kali tidak utuh mendudukperkarakannya. Misalnya, dalam melihat pelecehan seksual, diskriminasi gender, atau konflik antar suku, sebagai masalah lingkungan (masyarakat) yang tidak adil. Dalam hal ini kita mudah terjebak oleh issu-issu yang sangat parsial. Di satu pihak ada cita-cita agar derajat manusia dihargai, namun di pihak lain secara tidak sadar kita menggunakan ‘teknologi-teknologi’ yang sangat memberikan kemungkinan antar manusia dapat saling melecehkan. Dalam hal ini kita terjebak hanya melihat unsur organisasinya saja. Misalnya pengurangan siaran televisi yang lebih banyak mengeksploitasi pesan-pesan kekerasan dan pesan-pesan pelecehan seksual, hampir tidak pernah menjadi bagian perjuangan para pejuang kesetaraan gender. Keadaan demikian menunjukkan bahwa aspek kultur yang hanya menjadi perhatian, sementara teknis dilupakan.

Apa yang dapat memadukan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Masyarakat dan Lingkungan yang Integratif dalam Pendidikan?

Bersama Islam harapan itu masih ada. Agama Islam yang menegaskan bahwa fungsi utama manusia sebagai hamba Allah dan pemimpin (khalifah) di muka bumi memperjelas bahwa tujuan utama pendidikan adalah mewujudkan manusia yang bertanggung jawab kepada Tuhannya sebagai pemilik dan pemberi mandat kepemimpinan di muka bumi tentang apa yang telah dijalankannya sebagai tugas dan fungsi pemimpin.

Ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan dan ditransformasikan dari satu generasi kepada generasi selanjutnya melalui proses pendidikan. Nilai pendidikan iptek adalah nilai-nilai ketelitian, ketaatan terhadap probabilitas yang ada dalam hukum kausal, dan kesungguh-sungguhan berpikir sistematik-sistemik, dan holistik. Bila nalar moral tidak rasional, maka sesungguhnya nilai-nilai pendidikan iptek menjadi tidak berlaku, yang akibatnya adalah mengajarkan kebohongan, dan kecurangan. Jadi, masalah kepedulian yang rendah terhadap lingkungan sesungguhnya berawal dari penyebab mindset yang telah terkooptasi oleh pandangan tentang kesuksesan yang harus selalu terukur oleh angka-angka yang menunjukkan jumlah materi.

Pendidikan Islam menekankan kepada nilai-nilai bahwa tujuan utama hidup manusia adalah untuk mencapai nilai diridoi Allah. Benar, nilai ini memang sangat abstrak, namun kita bisa mencapainya melalui langkah-langkah konkrit. Jadi ukurannya ialah ukuran kualitas proses, berkaitan dengan cara-cara yang digunakan dalam sutau proses.

Demikian pula Islam menempatkan bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia, dan lingkungan yang dikelolanya adalah semata untuk mewujudkan rahmat Allah bagi semua alam. Dengan demikian pendidikan perlu dilakukan dalam proses tarbiyah seperti Allah sebagai Rabb telah melakukannya.

Pendidikan dapat dilakukan melalui proses-proses sistematis dan sistemik, untuk menjawab berbagai persoalan lingkungan manusia untuk mencapai keseimbangan dan keteraturan berdasarkan ketetapan Allah SWT. Proses pembelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan keseluruan rangkaian upaya manusia memperoleh kemudahan dalam menjalankan fungsi sebagai khalifah di muka bumi, oleh karena itu dalam setiap langkah pendidikan, perlu menunjukkan keterkaitan dengan aspek manfaat bagi lingkungan manusia.

Wallahu A’lam bi al-Shawab

Tuesday, March 31, 2009

UJIAN NASIONAL SUDAH DAPAT MENGUKUR KETERCAPAIAN TUJUAN NASIONAL PENDIDIKAN?

Disampaikan dalam Seminar Pendidikan pada Lembaga Kajian Profesionalitas Guru, tanggal 29 Rabi’ul Awwal 1430 H./26 Maret 2009 M. di Gedung Graha Optima, Pondok Ungu Permai (PUP) Bekasi.

Oleh: Asep Nursobah
Dosen Fak. Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung dan Institut Agama Islam Darussalam Ciamis.

A. Evaluasi sebagai Tolok Ukur Prestasi
Evaluasi (penilaian) berkaitan dengan pemberian nilai terhadap suatu objek, proses (usaha), dan hasil. “Cantik – tidak cantik”, “baik – buruk”, “bagus – jelek”, “panjang – pendek”, “besar – kecil”, “berat-ringan”, “mahal – murah”, “kompeten - tidak kompeten”, “pintar – bodoh”, “lulus – tidak lulus”. Memberikan nilai terhadap suatu proses (usaha) dan hasil, berhubungan dengan mengukur ketercapaian tujuan dari usaha yang telah ditetapkan. Dalam praktik sehari-hari biasa kita ungkapkan “ushanya berhasil tidak?” Jawabannya beragam; berhasil, lumayan, atau mungkin gagal. Penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik.
Membicarakan penilaian pendidikan berhubungan dengan penilaian terhadap ketercapaian tujuan mendidik peserta didik (tujuan pendidikan). Ibarat saja, pak Lamun berangkat dari Cileunyi dengan tujuan Jakarta melewati jalan tol Cipularang yang jaraknya 156 km. Setiap jarak 200 meter ada angkanya, dimulai dari gerbang tol halim tertulis 0 (kilometer nol) dan di gerbang tol Cileunyi tertulis 156 (kilometer 156). Pokoknya dia bertujuan ke Jakarta saja. Apa yang akan dilakukan di Jakarta tidak jadi persoalan. Sudah bisa sampai di Jakarta saja itu sudah diberi nilai ‘pintar’. Itu merupakan Kemampuan Dasar bagi pak Lamun untuk mencapai Standar Kemampuan berbelanja macam-macam pernak-pernik bahan tambahan membuat tape singkong, dan mengurusi keperluan birokrasi koperasi yang dikelolanya. Jangan sampai punya cita-cita menjadi ketua koperasi “Peuyeum Bandung”, akan berbelanja dan mengurus birokrasi di Jakarta, padahal pergi ke Jakarta saja tidak pernah bisa sampai.
Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa suatu tujuan telah tercapai? Caranya dengan diuji dan diukur. Tanya kepada pak Lamun, Anda sudah sampai di mana? Bila pak Lamun menjawab baru sampai di km 45 berarti tujuannya belum tercapai. Artinya 45 km lagi untuk mencapai Jakarta, dan nilainya “belum sampai Jakarta”. Tidak lama kemudian pak Lamun melapor kepada pengujinya “Pak saya sudah di Km 0 (kilometer nol).” Oh, ya, “bagus” “sudah sampai di Jakarta”, itulah nilai buat pak Lamun.
Rupanya penguji nasional menetapkan standar bahwa peserta ujian harus melalui mekanisme perjalanan dengan menggunakan kendaraan yang layak di jalan tol, prosedurnya juga sesuai dengan aturan jalan tol, alat ukurnya juga sesuai dengan alat ukur jalan tol. Pak Lemon, orang daerah yang biasa sehari-hari menggunakan dokar, diuji juga untuk bisa mencapai Jakarta. Ia bertanya kepada tuan Penguji: Tuan, boleh dokar saya menggunakan jalan tol? Semua harus menggunakan jalan tol, semua juga harus lulus, jawab Penguji. Jawaban yang sama disampaikan juga kepada para peserta yang lain yang menggunakan sepeda, dan becak. Para peserta yang ini menggerutu, “kenapa ya, Standar Kompetensi Lulusannya tidak sesuai dengan KD yang saya pelajari?”
Ujian Nasional atau UN adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan menengah. UN bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sejumlah harapan, dan kendala berkenaan dengan Ujian Nasional bertumpu pada kondisi kultural. Di antaranya adalah:
1. Kondisi masyarakat: a) tidak siap gagal, b) orientasi tentang pendidikan
2. Profesionalisme tenaga pendidik dan kependidikan,
3. Sumber belajar yang belum memadai,
4. Penyelenggaraan UN yang terlalu percaya bahwa UN sebagai “obat mujarab” untuk menggairahkan peningkatan mutu pendidikan nasional.
Ujian Nasional telah banyak makan korban. Untuk persiapan UN ada siswa yang dicabuli dukun, gara-gara percaya kepada dukun dapat memberikan pendamping jin yang membantu memudahkan ujian. Setelah ujian, ada siswa yang mengurung diri, bahkan nekad mengancam orang tuanya akan bunuh diri; gara-gara tidak lulus Ujian Nasional. Pokoknya aneh-aneh. Kenapa begitu? Kita terlalu berlebihan berharap terhadap kelulusan dari pendidikan formal, atau mungkin terlalu berlebihan berharap kepada selembar ijazah. Hal ini juga menggambarkan bahwa dalam budaya kita masih berkembang kuat keyakinan tentang selalu ada jalan pintas untuk mencapai suatu tujuan, tanpa ada usaha yang realistis.
Korban menjadi lebih banyak lagi ketika para siswa peserta Ujian Nasional memperoleh peluang untuk mendapat “kunci ajaib” jawaban soal-soal UN, yang patut diduga berasal dari oknum pendidik. Secara langsung atau tidak langsung kecurangan tersebut merupakan proses mendidik para siswa untuk berlaku curang dan tidak jujur. Akibat yang mungkin ditimbulkan adalah para siswa tidak memiliki daya juang untuk berprestasi dan tidak menyadari kelebihan dan keterbatasan diri. Persoalan ini juga muncul bukan karena tanpa sebab. Sebab yang paling pokok adalah profesionalisme guru masih belum kuat, sehingga menjadi sangat lemah ketika berhadapan dengan kepentingan stake holder pendidikan, seperti masyarakat dan pemerintah.
Wah, enak bukunya gratis, tinggal colokin kabel telepon ke komputer, sambung ke internet, download bukunya gratissss. Itulah yang bisa dilakukan oleh sekolah-sekolah terbaik. Kebanyakannya? Tentu masih jauh panggang dari api.
Penyelenggara UN (pemerintah) perlu mengkaji ulang tentang orientasi masyarakat terhadap pendidikan yang diselenggarakan di sekolah. Kendala tidak cukup dilihat dari Angka Partisipasi Kasar (APK) yang masih rendah. Di daerah tertentu (di salah satu kabupaten di Jawa Barat), kepala sekolah memelas kepada salah seorang anggota tim pemantau independen UN 2008 agar siswanya bisa memperoleh jawaban soal-soal UN. Penyebabnya adalah siswa di sekolah tersebut, untuk sehari-hari datang ke sekolah saja sangat sulit; kepala sekolah dan guru harus mendatangi orang tuanya agar mereka merelakan putera-puteri mereka tidak membantu pekerjaan orang tua di kebun atau di sawah pada jam sekolah. Jadi tolok ukur APK tidak cukup, karena masih banyak siswa yang berpartisipasi secara tidak serius.
Penyelenggaraan UN juga jangan terlalu percaya bahwa UN sebagai “obat mujarab” untuk menggairahkan peningkatan mutu pendidikan nasional. Ibaratnya adalah ada seseorang yang mengidap penyakit kronis dan komplikasi. Makan dan minum tidak enak, diberi obat sudah bosan, sekalipun terus-terus diberi obat generik penyakit tidak kunjung sembuh. Jangankan disuruh untuk berlari sprint dengan kecepatan 45 km/jam sejauh 2 km, berjalan kaki biasa-biasa saja untuk menempuh jarak hanya 25m sudah terasa sangat melelahkan.
Orang tersebut berobat kepada dokter di rumah sakit. Hasil diagnosa dokter ternyata pasien tersebut menderita penyakit mag yang sudah cukup kronis; terlalu lama diderita. Oleh karena penyakitnya sudah terlalu lama dibiarkan, akhirnya fungsi-fungsi organ tubuh yang lainnya sudah terganggu, seperti liver, dan paru-paru. Kadar asam urat, kandungan gula darah, kadar kolesterol juga tidak normal. Kendati demikian, seorang pasien ini punya cita-cita besar untuk bisa menjadi juara lari maraton pada olimpiade mendatang, yang waktunya tinggal 2 bulan lagi. Akhirnya pasien ini “keukeuh” memohon kepada dokter. “Dok, pokoknya saya harus punya sertifikat yang menerangkan bahwa saya sehat.” Dokter bertanya, untuk apa ‘sertifikat sehat’ kalau Anda masih sakit? “Tenang saja dokter, yang penting ‘sertifikat sehat’ itu ada, sebab itu merupakan syarat utama agar saya bisa mendaftar menjadi peserta maraton pada pesta olimpiade olahraga internasional,” Jawab si pasien. Rupanya pasien ini tidak tahu diri.
Dokter profesional ini merencanakan untuk melakukan pengobatan secara bertahap. Anda akan saya beri obat untuk menyembuhkan penyakit mag terlebih dahulu, sebelum mengobati paru-paru. Kalau sekaligus nanti mag (lambung) tidak akan kuat, sebab obat paru-paru akan menyebabkan gangguan terhadap fungsi lambung. Setelah lambungnya bagus, baru nanti paru-parunya diobati. Demikian penjelasan dokter. Pasien bertanya lagi: jadi harus diobati lambung dulu ya Dok, berapa lama? Ya, anda harus secara rutin minum obat mag, agar sembuh dulu dari penyakit mag. Mudah-mudahan seminggu juga sembuh. Begitulah dokter tersebut menjelaskan ‘tujuan pegobatan khusus’ yang akan dicapai oleh pasien serta waktu ‘program pengobatannya.’ Setelah obat ini habis, nanti akan saya lakukan ‘ujian blok mag’. Bila hasil ujian blok mag ini menunjukkan ‘nilai’ mag Anda bagus, baru saya akan memberikan program pengobatan untuk penyakit paru-paru selama enam bulan. Selama itu Anda jangan terlewat minum obat yang dianjurkan. Bila ada keluhan segera konsultasi, nanti saya akan memantau perkembangan kesehatan Anda. Setelah enam bulan saya akan lakukan ‘Ujian Akhir Semester’ untuk mengetahui apakah lambung dan fungsi paru-paru Anda bernilai baik atau tidak, lanjut dokter menjelaskan ‘silabus pengobatannya lebih lengkap lagi.’
Ah, dokter ini berbelit-belit sih. Kalau begitu harapan saya habis, tidak bisa mencapai prestasi di tingkat internasional, dong. Asal dokter tahu, yah: kalau tidak dinyatakan bahwa saya ‘bernilai sehat’ dan ‘sudah lulus’ dari program pengobatan di rumah sakit ini, pasti rumah sakit ini akan dianggap tidak berhasil, padahal kan saya sudah mengeluarkan banyak uang, begitu juga pemerintah daerah dan pusat. Akibatnya rumah sakit ini juga dinilai buruk oleh masyarakat dan pemerintah. Begitulah pasien menggertak dokter. ‘Suster’ ikut nimbrung: di rumah sakit ini, meskipun Anda berakhir meninggal dunia Anda tetap harus membayar, sebab program pengobatan tetap berjalan sesuai prosedur. Coba Anda pikir, emang ada rumah sakit yang mengembalikan uang kepada keluarga pasien yang meninggal dunia di rumah sakit? Gara-gara pasien sudah mengeluarkan uang, dijamin sembuh gitu? Kalau tidak sembuh uang kembali gitu? Anda harus mengikuti program dengan sebaik-baiknya, kemudian diuji ada yang nilainya “lulus Sehat”, ada juga yang nilainya “tidak lulus, Mati”. Kami menyajikan program, melayani pasien dengan penuh keramahan sesuai prosedur. Suster yang dari tadi memperhatikan pasien tersebut ikut jengkel.
Apa yang ditempuh pasien tersebut selanjutnya? … saya tidak tahu… yang jelas pasien tersebut memperoleh ‘Ijazah Lulus dan Sehat’, dan bisa juga menjadi peserta olimpiade olah raga sedunia, namun ‘keok’. Hah, maklumlah orang sakit. Tahu, kan, tuh sakitnya malah makin parah!

B. Evaluasi adalah penting
Penilaian adalah sangat penting, termasuk sama pentingnya untuk diadakan Ujian Nasional. Dibandingkan dengan pentingnya mencapai kelulusan, yang paling penting adalah mendidik siswa untuk mempunyai kemandirin dalam belajar, bekerja secara jujur, percaya kepada kemampuan diri sendiri, dan siap mengambil resiko. Kemandirian belajar adalah tanggung jawab siswa dalam dan terhadap belajar, yang ditunjukkan dengan adanya inisiatif sendiri, menggunakan segala daya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dan persisten dalam belajar. Siswa diharapkan dapat menilai sendiri terhadap kinerja belajar dan hasil yang dicapainya. Dengan demikian pentingnya evaluasi pendidikan dapat dilihat dari fungsi penilaian keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan yang ditetapkan, dan mendidik kepribadian siswa. Jangan mengorbankan kepentingan mendidik kepribadian, demi mencapai reputasi ‘berhasil’ mencapai angka kelulusan dan jumlah siswa yang lulus tinggi.

C. Standar Evaluasi

Penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan berdasarkan standar penilaian pendidikan yang berlaku secara nasional (Permendiknas No. 20 Th. 2007 tentang Standar Penilaian).
Berikut ini saya tuliskan beberapa bagian dari lampiran permendiknas No. 20 Th 2007 tersebut.

Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.

Mekanisme dan Prosedur Penilaian
1. Penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah.
2. Perancangan strategi penilaian oleh pendidik dilakukan pada saat penyusunan silabus yang penjabarannya merupakan bagian dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
3. Ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas dilakukan oleh pendidik di bawah koordinasi satuan pendidikan.
4. Penilaian hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diujikan pada UN dan aspek kognitif dan/atau aspek psikomotorik untuk kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan oleh satuan pendidikan melalui ujian sekolah/madrasah untuk memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan merupakan salah satu persyaratan kelulusan dari satuan pendidikan.
5. Penilaian akhir hasil belajar oleh satuan pendidikan untuk mata pelajaran kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan ditentukan melalui rapat dewan pendidik berdasarkan hasil penilaian oleh pendidik.
6. Penilaian akhir hasil belajar peserta didik kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan oleh satuan pendidikan melalui rapat dewan pendidik berdasarkan hasil penilaian oleh pendidik dengan mempertimbangkan hasil ujian sekolah/madrasah.
7. Kegiatan ujian sekolah/madrasah dilakukan dengan langkah-langkah: (a) menyusun kisi-kisi ujian, (b) mengembangkan instrumen, (c) melaksanakan ujian, (d) mengolah dan menentukan kelulusan peserta didik dari ujian sekolah/madrasah, dan (e) melaporkan dan memanfaatkan hasil penilaian.
8. Penilaian akhlak mulia yang merupakan aspek afektif dari kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, sebagai perwujudan sikap dan perilaku beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, dilakukan oleh guru agama dengan memanfaatkan informasi dari pendidik mata pelajaran lain dan sumber lain yang relevan.
9. Penilaian kepribadian, yang merupakan perwujudan kesadaran dan tanggung jawab sebagai warga masyarakat dan warganegara yang baik sesuai dengan norma dan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, adalah bagian dari penilaian kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian oleh guru pendidikan kewarganegaraan dengan memanfaatkan informasi dari pendidik mata pelajaran lain dan sumber lain yang relevan.
10. Penilaian mata pelajaran muatan lokal mengikuti penilaian kelompok mata pelajaran yang relevan.
11. Keikutsertaan dalam kegiatan pengembangan diri dibuktikan dengan surat keterangan yang ditandatangani oleh pembina kegiatan dan kepala sekolah/madrasah.
12. Hasil ulangan harian diinformasikan kepada peserta didik sebelum diadakan ulangan harian berikutnya. Peserta didik yang belum mencapai KKM harus mengikuti pembelajaran remedi.
13. Hasil penilaian oleh pendidik dan satuan pendidikan disampaikan dalam bentuk satu nilai pencapaian kompetensi mata pelajaran, disertai dengan deskripsi kemajuan belajar.
14. Kegiatan penilaian oleh pemerintah dilakukan melalui UN dengan langkah-langkah yang diatur dalam Prosedur Operasi Standar (POS) UN.
15. UN diselenggarakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bekerjasama dengan instansi terkait.
16. Hasil UN disampaikan kepada satuan pendidikan untuk dijadikan salah satu syarat kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan dan salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya.
17. Hasil analisis data UN disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan serta pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.

D. Simpulan dan Saran
Evaluasi (penilaian) pendidikan baik yang diselenggarakan oleh pendidik, satuan pendidikan, maupun pemerintah adalah penting dan harus dilakukan.
Secara normatif, aturan-aturan menyangkut standar penilaian pendidikan, saya kira sudah cukup memadai. Namun demikian dalam tingkat implementasi kita patut memperhatikan penyebab-penyebab banyaknya kendala yang dijumpai dalam praktik di lapangan, apalagi berkaitan dengan akibat-akibat yang menjadi kontra-produktif terhadap pencapaian tujuan nasional.
Beberapa saran dapat diajukan sebagai berikut:
1. Analisis kesesuaian antara Standar Isi dangan Standar Kompetensi Lulusan secara bersinambungan.
2. Perkuat identitas profesionalisme guru
3. Tingkatkan upaya penyadaran masyarakat tentang makna pendidikan sebagai kebutuhan agar anak-anak mereka memiliki kemampuan siap tandang di masa mendatang. Bukan pentingnya ijazah untuk menjamin masa depan.
4. Tingkatkan kemandirian belajar siswa, dengan bertanggung jawab dalam dan terhadap belajar, siap menerima resiko atas apa yang telah diusahakan secara optimal. Hidup adalah pilihan, siap lulus dan siap tidak lulus.

Wallahu A’lamu bi al-shawab.

Tuesday, March 24, 2009

UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MELALUI KERJASAMA ANTARA SEKOLAH DENGAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN

Disampaikan pada Seminar Peningkatan Mutu Pendidikan Agama Islam yang Diselenggarakan oleh DKM Masjid Raya Ujung Berung Bandung tanggal
24 Maret 2009


Oleh Asep Nursobah
(Dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam Fak. Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan
Gunung Djati Bandung)



A. Pendahuluan
        Pentingnya meningkatkan mutu Pendidikan Agama Islam melalui kerjasama antara sekolah dengan pendidikan keagamaan di masyarakat bisa dilihat dari sudut pandang situasi yang ditunjukkan oleh tiga hal, yaitu gejala ‘nongkrong’ di kalangan remaja usia sekolah, remaja kurang berminat kepada pendidikan keagamaan, dan ada kecenderungan penurunan akhlak al-karimah di kalangan remaja.
        Pertama, remaja ‘nongkrong’ dianggap masalah ketika nongkrong itu dilakukan misalnya di sore hari, setelah maghrib, bahkan bisa sampai jam 10 malam lebih. Kalau begitu, pertanyaannya adalah kapan para siswa tersebut bisa belajar? Kita yakin bahwa belajar bagi mereka tidak cukup pada saat kegiatan pembelajaran di sekolah. Untuk bisa memperoleh kemampuan yang memadai mereka harus mempelajari apa yang mereka telah pelajari di sekolah, atau yang akan dipelajari di sekolah, dipelajari terlebih dahulu di rumah. Jadi sebenarnya masalah ini bukan saja berkaitan dengan Pendidikan Agama Islam melainkan termasuk juga bagi pelajaran-pelajaran selain Pendidikan Agama Islam. Ketika siswa tidak meluangkan waktu untuk mempelajari apa yang telah dipelajari di sekolah, atau mempelajari terlebih dahulu apa yang akan dipelajari di sekolah, maka nanti hasilnya juga tidak akan terlalu bagus. Demikian pula yang bertanggung jawab atas persoalan ini bukan guru PAI saja, namun juga setiap guru, dan bahkan semua pihak yang berkepentingan dengan pendidikan anak/siswa.
        Penyebab para remaja nongkrong adalah karena mereka butuh wahana untuk bersosialisasi, teman bergaul, berkelompok, menggabungkan diri dengan teman-temannya dalam kelompok. Semua itu tiada lain karena mereka sedang mencari identitas diri mereka. Salah satu identitas itu adalah bersumber dari kelompok. Dengan cara berkelompok di tempat nongkrong, maka mereka akan memperoleh identitas dari kelompok nongkrong itu. Mereka masih beruntung bila nilai-nilai yang berkembang di kelompok adalah nilai-nilai positif.
        Kedua, pendidikan keagamaan kurang diminati oleh kalangan remaja, termasuk yang berstatus sebagai siswa. Mengapa mereka nongkrong? Mengapa kumpulnya tidak di masjid atau di tempat-tempat pendidikan keagamaan? Hal ini patut diduga bahwa penyebabnya adalah karena pendidikan keagamaan yang ada sudah tidak memenuhi harapan dan kebutuhan mereka. Bisa juga karena kurang adanya pihak yang mendorong mereka untuk terlibat aktif dalam kegiatan pendidikan keagamaan.
        Ketiga, kecenderungan menrunnya akhlak al-karimah sebenarnya merupakan salah satu akibat dari dua gejala di atas.


B. Kerjasama antara Sekolah dengan Pendidikan Keagamaan
        Remaja/siswa memerlukan sarana yang positif untuk memenuhi kebutuhan mereka bersosialisasi. Kita bisa memanfaatkan potensi pendidikan keagamaan seperti diniyah, majlis ta’lim, atau remaja masjid. Bentuk pendidikan keagamaan seperti itu, sebenarnya pusatnya adalah mesjid.
        Siswa-siswa yang sudah menginjak usia remaja biasanya tidak tertarik lagi untuk belajar di pendidikan keagamaan. Kita patut menduga bahwa karena sementara ini pendidikan keagamaan terkesan “tidak berpihak kepada kebutuhan remaja.” Seperti madrasah diniyah hanya cocok untuk kalangan siswa usia SD/MI. Jadi setelah siswa memasuki pendidikan di SMP/MTs tidak lagi merasa nyaman untuk bergabung bersama dengan kelompok usia di bawahnya. Begitu juga majlis ta’lim lebih terkesan sebagai lembaga pendidikan keagamaan untuk kalangan orang tua. Jadi, kita perlu mempertegas kelembagaan pendidikan keagamaan yang lebih tepat bagi kalangan
remaja.
        Diniyah sebenarnya dapat diselenggarakan secara berjenjang untuk melayani kebutuhan belajar siswa-siswa yang sudah memasuki usia remaja. Begitu juga berbagai kegiatan remaja mesjid, misalnya. Pendidikan keagamaan diniyah untuk kebutuhan pengayaan pendidikan Agama Islam di sekolah disebut Diniyah Takmiliyah (PP. 55/2007, pasal 21: 1).
        Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.Bentuknya bisa diniyah, pesantren, majelis taklim, dan Taman Pendidikan Al-Quran (Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan). Biasanya pendidikan keagamaan tersebut berpusat di mesjid atau mushalla.
        Bagaimana cara kita bisa mengarahkan remaja/siswa untuk bisa aktif dalam pendidikan keagamaan? Caranya ialah harus ada kerjasama antara pendidikan sekolah dengan pendidikan keagamaan. Sementara ini, bagi siswa mungkin yang paling utama adalah pendidikan sekolah. Oleh karena itu, sewajarnya bila yang mengawali inisiatif untuk melakukan kerjasama itu adalah sekolah, karena sekolah juga berkepentingan
terhadap kemajuan pendidikan anak-anak itu. Sekolah tidak bisa hanya mengandalkan kegiatan pembelajaran di sekolah saja, namun juga akan sangat terbantu bila ada kesempatan-kesempatan bagi siswa untuk belajar di luar jam sekolah. Kerjasama seperti itu sebenarnya sudah sering dilakukan, namun sifatnya sangat temporer. Misalnya pada saat bulan ramadhan, siswa bisa diarahkan agar mereka bisa mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan di masyarakat. Mereka bisa ikut karena merasa ada kewajiban dari sekolah.
        Sekiranya gagasan ini diterima, maka kita juga harus melihat beberapa kendala mungkin dihadapi, atau kendala yang saat ini ada. Misalnya, ketidaksiapan pihak penyelenggara PAI atau pendidikan keagamaan yang berkaitan dengan tenaga pendidik, sarana dan prasarana. Di sinilah pentingnya peranan dari fasilitator, misalnya tokoh-tokoh masyarakat juga termasuk pihak pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah juga ikut terlibat dalam memfasilitasi kegiatan-kegiatan ini. Secara operasional misalnya, adanya keterlibatan pengawas Pendidikan Agama Islam, dan mungkin juga petugas penyuluh agama Islam. Demikian pula, perlu ada koordinasi antara Departemen Agama Kabupaten/Kota dengan dinas yang membidangi pendidikan di pemerintah kabupaten/kota.
        Pertanyaan selanjutnya adalah kerjasama dalam bidang apa? Banyak hal yang bisa kita kerjasama kan, antara lain:


Gambar Matrik Wilayah Kerjasama Pendidikan Agama



  1. Penyesuaian materi kurikulum. Dalam hal ini pendidikan keagamaan bisa menyesuaikan dengan kurikulum PAI di sekolah. Pendidikan keagamaan bisa menempatkan materi-materi pengayaan untuk kurikulum PAI yang ada di sekolah, sehingga siswa belajar agama secara optimal. Prinsipnya adalah jangan sampai merupakan pengulangan yang berlebihan sehingga siswa menjadi jenuh. Variasi tetap ada, tetapi variasinya tidak terlalu berjauhan antara apa yang dipelajari di sekolah dengan materi agama yang dipelajari di pendidikan keagamaan.


  2. Penyesuaian Waktu. Kita melihat bahwa tidak semua sekolah bisa menyelenggarakan pembelajaran di pagi hari. Beberapa di antaranya masih ada sekolah-sekolah yang kesulitan untuk menyelenggarakan pendidikan di pagi hari, sehingga secara terpaksa pada siang hari. Konsekwensinya adalah siswa pulang sore hari, sekiranya kondisi ini masih memungkinkan siswa untuk masuk ke tempat pendidikan keagamaan, sebetulnya tidak masalah. Kalaupun jadi masalah, maka pendidikan keagamaan bisa menyesuaikan waktu untuk memberikan pembelajaran pendidikan keagamaan misalnya pagi hari.


  3. Kerjasama dalam peningkatan perilaku keberagamaan. Inilah yang paling penting. Peningkatan perilaku keberagamaan adalah dalam rangka siswa untuk belajar bersungguh-sungguh berakhlaqul karimah. Pendidikan keagamaan diharapkan mampu memonitor berbagai kemungkinan perilaku siswa selama berada di masyarakat. Demikian pula pihak sekolah dalam hal ini misalnya guru PAI dapat menunjukkan kondisi-kondisi yang sesungguhnya pada setiap siswa, dan kemudian mengkomunikasikannya kepada penyelenggara pendidikan keagamaan yang ada di masyarakat.



Secara operasional guru PAI dapat melaporkan perkembangan belajar agama setiap siswa kepada penyelenggara pendidikan keagamaan, dan demikian pula sebaliknya. Guru PAI dapat memberikan penghargaan yang wajar bagi siswa-siswa yang aktif di pendidikan keagamaan.




C. Penutup


        Kerja sama antara Pendidikan Agama Islam di sekolah dengan pendidikan keagamaan yang ada di masyarakat diharapkan dapat mengoptimalkan pencapaian tujuan utama pendidikan Agama Islam, bukan saja pada ranah kognitif, namun juga diwujudkan akhlak al-karimah.
        Melalui kerja sama tersebut juga diharapkan akan memberikan keuntungan bagi semua pihak, baik bagi siswa, guru PAI, maupun penyelenggara pendidikan keagamaan. Prestasi belajar Agama Islam siswa di sekolah meningkat, dan muncul kegairahan bagi penyelenggaraan pendidikan keagamaan, dan paling pokok adalah adanya pembinaan akhlak al-karimah bagi siswa secara berkelanjutan.


Wallahu A’lamu bi al-shawaab

Thursday, March 19, 2009

Kerja Ilmuwan Berdasarkan Istilah

Istilah menjadi penting untuk kerja intelektual kalangan ilmuwan. Kelatahan penggunaan istilah menunjukkan kebodohan ilmuwan. Bagaimana kalau bukan ilmuwan yang latah itu? Ya wajar saja, karena memang mereka bukan ilmuwan.

Saya teringat ketika para Anggota Dewan Perwakilan (DPR) terhormat sangat latah dengan istilah "BULOG Gate" untuk menunjukkan kasus korupsi yang terjadi di Badan Logistik di negeri ini. Hampir setiap lapisan masyarakat yang memperhatikan masalah tersebut, mulai dari wartawan, pengamat politik, politisi, bahkan kalangan DPR selalu menyebut kasus tersebut dengan BULOG Gate. Darimana istilah itu muncul? nampaknya sedikit sekali orang yang peduli terhadap asal-usul "Gate" diterapkan menjadi istilah yang menunjukkan suatu kasus.

Ilmuan berbicara, mengkomunikasikan pikiran, dan mengemukakan argumentasi, dan membuat kesimpulan berdasarkan istilah yang telah disepakati pada disiplin ilmunya. Sayang sekali ketika seorang ilmuwan ceroboh menggunakan istilah. Kecerobohan tersebut apalagi ketika didasarkan oleh ketidak tahuannya.

Kita bayangkan sekiranya seorang ilmuwan memperbincangkan istilah "ember", bahkan secara jauh mengomentari tentang kekurangan dan kelebihan manfaat ember. Sedemikian jauh berbicara tentang itu. Ternyata ujung-ujungnya yang dimaksudkan dalam pembicaraan wujud konkritnya adalah "drum" yang biasa digunakan untuk menyimpan aspal, minyak tanah, atau solar. Sia-sia, kan, bahkan tidak nyambung.

Saya memperhatikan juga apa yang terjadi di tanah air tercinta ini dalam bidang pendidikan. Tidak sedikit orang berbicara tentang pendidikan, bisa jadi dia orang pendidikan atau juga bukan orang pendidikan. Menggunakan istilah-istilah untuk metode pembelajaran, strategi pembelajaran, atau istilah-istilah khusus yang berkaitan dengan teknik dalam wilayah pendidikan.

Istilah-istilah itu menjadi semakin kacau, ketika ternyata istilah-istilah yang salah digunakan untuk suatu kebijakan pendidikan. Misalnya, dalam perumusan judul-judul modul untuk pelatihan pada suatu diklat, atau untuk materi-materi pelatihan, seminar, workshop, atau apalah namanyaa?

Bagi orang-orang yang punya perhatian di bidang pendidikan hanya melongo ketika menyaksikan semua-semua itu terus menerus semakin dikacaukan. Kapan kita bisa maju, dalam pengembangan teori atau praktik yang berdasarkan teori?

Sudah saatnya kita menggunakan istilah-istilah yang tepat dan dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan asal-usul istilah itu, sehingga kita tahu objek apa yang dimaksud oleh sutau konsep tertentu.

Saturday, March 14, 2009

MERUMUSKAN MASALAH PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK)

SERI PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK)

Oleh
Asep Nursobah

Merumuskan Masalah PTK



a. Masalah dan Latar belakangnya

Masalah dalam penelitian tindakan kelas sebenarnya sama saja dengan masalah dalam penelitian ilmiah. Dalam penelitian tindakan kelas lebih tepat disebut sebagai fokus. Masalah akan nampak lebih fokus ketika Anda menggambarkan masalah tersebut dengan latar belakangnya.

Masalah adalah kesenjangan antara keharusan dengan kenyataan. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi di kelas Anda? Apakah ada masalah? Anda akan merasakan ada masalah bila Anda merasakan ada kesenjangan antara keadaan seharusnya dengan keadaan senyatanya. Secara lebih jelas lagi kesenjangan tersebut adalah karena adanya perbedaan antara teori dengan praktik.

Kita akan mengatakan ada kesenjangan bisa karena kita merasakan sesuatu yang tidak kita harapkan, dan bisa juga melebihi dari apa yang kita harapkan. Secara sederhana biasanya kita mengatakan ada keanehan. Keanehan bisa karena suatu fenomena membuat kita tidak nyaman dan gusar, atau bisa juga karena sesuatu yang membuat kita sangat senang.

Misalnya, ada fenomena bahwa mahasiswa calon guru “tidak memahami isi buku penelitian tindakan kelas (PTK)”, padahal mahasiswa tersebut “sudah berulang-ulang membacanya”. Ini akan dianggap sebagai masalah. Anda akan aneh, heran, atau anda bertanya-tanya. Kenapa? Alasannya adalah “seharusnya mahasiswa tersebut sudah memahami isi buku (PTK), karena sudah berulang-ulang membacanya.” Artinya, secara teori, seharusnya mahasiswa calon guru sudah bisa memahami isi buku PTK karena sudah berulang-ulang membacanya, namun kenyataannya mahasiswa tersebut belum dapat memahaminya.

Ah…, tidak usah dibesar-besarkan, ‘gitu aja kok dipermasalahkan’ “aya-aya bae.” Kalau sudah tidak faham ‘biarin aja’ Pak, ‘emang Bapak pikirin’? Ya kan Pak, tidak perlu dibesar-besarkan? ‘Kan memahami PTK tidak begitu penting-penting amat’? tanya seorang office boy (OB) di kantor saya. Ya, begitu bagi pekerjaan OB tidak perlu memahami PTK.

Saya jawab lagi, bagi guru, PTK menjadi amat penting sebagai alat untuk meningkatkan mutu pembelajaran secara berkelanjutan. Jadi bagi mahasiswa calon guru juga sangat penting, supaya kelak ketika ia menjadi guru akan menjadi guru profesional. Seandainya guru-guru secara profesional selalu dapat menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran yang ditemukannya di kelas di antaranya melalui PTK, berarti pembelajaran akan semakin bermutu, dan akhirnya mutu hasil pendidikan nasional meningkat, bangsa Indonesia menjadi berakhlak dan cerdas-cerdas; bangsa Indonesia menjadi lebih maju. Jadi, saya katakan kepada OB, memahami bahkan melaksanakan PTK bagi guru dan calon guru adalah sangat penting ‘nggak’ bisa dibiarkan begitu saja. Jadi suatu fenomena dianggap masalah, juga adalah jika sesuai dengan konteksnya. Misalnya PTK sesuai dengan konteks keperluan profesonal guru atau calon guru.

Kita patut melihat urgensi masalah itu dari konteksnya. Misalnya kalau anda seorang petani, yang sehari-hari mengolah kebun, sawah, atau ladang, dan tidak pernah berurusan dengan bidang keguruan dan pendidikan, maka memahami isi buku penelitian tindakan kelas, membaca buku-buku penelitian tindakan kelas bukan sesuatu yang sangat amat penting. Pada konteks anda sebagai mahasiswa calon guru, misalnya, maka memahami buku penelitian tindakan kelas, dan membaca buku-buku penelitian tindakan kelas untuk dapat memahami isinya manjadi sangat dan amat penting.

Uraian di atas adalah uraian tentang “masalah dalam penelitian” dan “gambaran tentang latar belakang masalah.” Masalahnya adalah “Mahasiswa Calon Guru (MCG) tidak Memahami Penelitian Tindakan Kelas (PTK).” Latar belakang masalahnya adalah 1) MCG tersebut sudah membaca buku PTK secara berulang-ulang, dan 2) Kemampuan melakukan PTK adalah sangat penting bagi guru, karenanya tidak bisa disepelekan begitu saja. Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa, untuk memfokuskan masalah penelitian, kita dapat menggambarkannya dari latar belakang masalah itu, yaitu konteks penyebab suatu fenomena dianggap masalah:
1) dari segi hubungannya dengan fenomena sebelumnya, dan
2) dilihat dari segi urgensi (kepentingan yang dianggap mendesak) fenomena tersebut terhadap akibat-akibat yang akan ditimbulkannya. Secara sederhana kita rumuskan saja menjadi “temukan fenomena masalahnya, dan kemudian gambarkan latar belakangnya melalui konteksnya.”

Fenomena berikut ini juga akan aneh. Mahasiswa calon guru sangat memahami PTK, dan buku-buku PTK, padahal ia sama sekali tidak pernah membaca buk PTK. Ya, janggal, tetapi kejanggalan yang membuat kita menjadi merasa lega. Namun demikian kita masih merasa aneh, dan heran, sehingga kita anggap saja sebagai keunikan. Jadi masalahnya adalah dari keunikannya.

Janggal berarti tidak wajar, sehingga kita menganggap kejanggalan tersebut sebagai masalah. Sebaliknya sesuatu yang kita anggap tidak janggal berarti wajar-wajar saja, sehingga kita mengaggap tidak ada masalah. Misalnya, Anda tidak memahami isi buku PTK dianggap wajar, karena anda tidak pernah memabacanya. Menurut teori, hukum orang yang membaca buku PTK secara berulang-ulang adalah akan dapat memahami isi buku tersebut; hukum orang yang tidak membaca buku penelitian tindakan kelas adalah tidak akan dapat memahami isi buku tersebut. Memahami isi buku PTK karena sudah membacanya tidak unik, tetapi memahami isi buku PTK padahal belum pernah membacanya adalah unik. “Suatu fenomena bisa dianggap masalah dan bisa juga tidak dianggap masalah, tergantung konteksnya”.

b. Identifikasi Masalah

Bila Anda sudah menyadari akan adanya masalah, serta telah tergambarkan oleh latar belakangnya, maka berikutnya adalah mengidentifikasi masalah.

Aneh, ya! mengapa begitu? Demikian biasanya ungkapan kita sehari-hari ketika semakin penasaran dengan suatu masalah. Pertanyaan tersebut sebenarnya membutuhkan jawaban tentang berbagai kemungkinan penyebab adanya masalah.

Demikian juga dalam penelitian ilmiah, termasuk dalam penelitian tindakan kelas (PTK). Dalam mengidentifikasi masalah, Anda akan menguraikan berbagai kemungkinan penyebab masalah. Kita dapat ‘menduga-duga’ berbagai kemungkinan penyebab tersebut berdasarkan teori-teori yang sesuai dengan masalah tersebut. Misalnya, dalam contoh masalah “tidak memahami isi buku PTK” yang dilatarbelakangi oleh upaya membacanya sampai berkali-kali dan ‘keukeuh’ ingin dapat memahaminya, karena untuk keperluan pengembangan profesi guru. Anda dapat mengemukakan beberapa penyebab menurut teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli bahasa, dan ahli media, dan ahli psikologi belajar:
1) Bahasa yang digunakan terlalu rumit, dan berbelit-belit (Fulan, 2008: 30).
2) Penyajian buku tidak menarik, karena tidak ada ilustrasi gambar atau bagan (Domir, 2007: 43).
3) Pembaca tidak menggunakan teknik membaca yang efektif, dan
4) Pembaca tidak konsentrasi saat membaca buku (Dohir, 2009: 35).

c. Pembatasan Masalah

Katakanlah Anda sudah mengidentifikasi ada empat faktor yang menyebabkan seseorang tidak dapat memahami isi buku yang dibacanya, berdasarkan teori-teori yang sudah Anda baca dari pendapat Prof. Fulan, Prof. Domir, dan Prof. Dohir. Tentu, selanjutnya Anda akan mempertimbangkan teori-teori tersebut, mana yang paling tepat dengan konteks yang Anda teliti.

Misalnya, Anda mencoba melakukan studi pendahuluan. Anda menanyakan kepada mahasiswa yang bernama Sigit tentang kesulitan memahami isi buku yang dialaminya. Ternyata Sigit sudah membacanya sampai empat kali dengan penuh konsentrasi dan bahkan menggunakan teknik yang paling canggih. Anda juga menanyakan kepada Abdul Rahman, Abdul Rauf, Eulis, Elis, Imas, Eni, Ulfa, dan Diah. Rata-rata mereka kesulitan karena aspek bahasa yang terlalu rumit dan berbelit-belit, serta jenuh karena tidak ada ilustrasi gambar atau bagan.

Berdasarkan data-data awal lapangan tersebut, maka anda membatasi masalah yang akan menjadi tindakan perbaikan adalah berkaitan dengan penyajian bahasa yang rumit dan berbelit-belit, dan ketiadaan ilustrasi gambar dan bagan dalam buku PTK.

Jangan terburu bernafsu!
Setelah anda menemukan kemungkinan (alternatif) pemecahan masalah berdasarkan teori Fulan dan Domir, serta didukung pula oleh beberapa fakta pengakuan dari beberapa mahasiswa, maka Anda juga mesti meyakinkan berdasarkan teori. Anda perlu menjelaskan lagi berdasarkan teori. Mungkin masih dari pendapat Fulan dan Domir, bahkan sebaiknya didukung oleh teori lain, seningga anda tidak terkecoh oleh pengakuan mahasiswa yang telah anda temui pada studi pendahuluan.

d. Perumusan Masalah

Anda dapat merumuskan masalah PTK berdasarkan batasan faktor penyebab masalah yang sudah anda batasi. Rumusan masalahnya mudah saja. Nyatakan dalam kalimat tanya. Misalnya, “Apakah penggunaan bahasa yang sederhana dan ilustrasi gambar dan tabel dalam buku PTK akan dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang isi buku PTK?” Itulah rumusan pertanyaannya pokoknya. Rumusan masalah yang pokok cukup satu saja.

Dalam rumusan masalah ini anda terkandung keinginan untuk membuktikan apakah teori yang Anda gunakan dapat menyelesaikan masalah Anda.

Dari rumusan masalah tersebut anda juga dapat merumuskan judul PTK anda. Misalnya:

1)“Peningkatan pemahaman mahasiswa tentang isi buku PTK melalui penggunaan bahasa yang sederhana dan ilustrasi gambar dan bagan dalam buku PTK”
2)“Pemanfaatan buku PTK dengan bahasa yang sederhana, dan ilustrasi gambar dan bagan dalam peningkatan pemahaman mahasiswa tentang isi buku PTK”

Contoh rumusan dua judul tersebut, fokusnya adalah sama saja.







Tugas Latihan:


Dengan asumsi bahwa Anda adalah guru:

1. Kemukakanlah masalah atau kendala yang Anda hadapi ketika melaksanakan kegiatan pembelajaran pada mata pelajaran (bisa berkaitan dengan penggunaan media, strategi, model, lingkungan belajar, atau sistem penilaian)!
…………………………………………………………………………………………………...………………………………………………………………………………………………………...……………………………………………………………………………
………………………...…………………………………………………………………………………………………………...……………………………………………………………………………………………………………..

2. Gambarkan konteks yang melatar belakangi masalah yang anda tentukan!
…………………………………………………………………………………………………...………………………………………………………………………………………………………...…………………………………………………………

Berikan alasan mengapa masalah tersebut penting untuk segera dicarikan pemecahannya!
…………………………………………...…………………………………………………………………………………………………………...……………………………………………………………………………………………………………..

1. Jelaskan beberapa penyebab timbulnya masalah yang anda tentukan (gunakan teori/pendapat) !
…………………………………………...…………………………………………………………………………………………………………...…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………………….…..

2. Pilihlah salah satu masalah yang menunrut Anda mendesak (kemukakan fakta-faktanya) !
…………………………………………...…………………………………………………………………………………………………………...………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….…..

3. Kemukakan alternatif tindakan yang perlu dilakukan untuk pemecahan masalah yang Anda hadapi (jelaskan
berdasarkan teori tertentu.
…………………………………………...…………………………………………………………………………………………………………...…………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….…..

4. Kemukakan rumusan masalah yang akan Anda teliti!
……………………………………...…………………………………………………………………………………………………………...……………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….…..

5. Rumuskan Judul PTK yang anda usulkan
…………………………………………...…………………………………………………………………………………………………………...……………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….…..

Monday, March 9, 2009

APLIKASI CLASSROOM MANAGEMENT DALAM KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)

Disampaikan dalam Seminar Pendidikan pada Lembaga Kajian Profesionalitas Guru, tanggal 12 Rabi’ul Awaal 1430 H./9 Maret 2009 M. di Gedung Graha Optima, Pondok Ungu Permai (PUP) Bekasi

Oleh: Asep Nursobah

Banyak hal yang berkaitan dengan situasi individu dan kelompok siswa di sekolah/madrasah. Dari mulai siswa tidak semangat belajar, mengantuk, tidak perhatian dalam belajar, sampai tawuran di jalanan dan penyalah gunaan obat narkotika. Keadaan siswa seperti demikian itu sebenarnya tidak semuanya; masih ada siswa yang pintar, tekun dan ulet dalam belajar sehingga sukses menjadi siswa terpelajar dan terdidik. Namun demikian, setiap keadaan siswa senantiasa saling berkaitan dan antara satu keadaan dengan keadaan yang lainnya saling mempengaruhi. Kelas di sekolah menunjukkan pada sekelompok siswa pada tingkat kemampuan tertentu, sehingga perilaku siswa baik sebagai kelompok maupun sebagai individu saling mempengaruhi tehadap keadaan kelas.
Kita dapat menjadikan kelas sebagai fokus perhatian untuk menyelesaikan masalah-masalah belajar siswa, karena kelas siswa merupakan komunitas terkecil dari sistem pendidikan, baik di sekolah/madrasah maupun di perguruan tinggi. Pengelolaan kelas untuk tujuan-tujuan pencapaian kesuksesan siswa dalam belajar itu dikenal dengan istilah manajemen kelas (classroom management), yang pada awalnya kita hanya mengenal istilah pendisiplinan siswa. Manajemen kelas merupakan perkembangan praktik pengaturan perilaku siswa agar terarah kepada perilaku belajar, yang lebih kita kenal sebagai disiplin sekolah atau disiplin kelas.
Dengan demikian manajemen kelas, sebenarnya bukan hanya sebatas kegiatan guru dalam catat-mencatat kegiatan pembelajaran, atau penerapan disiplin kepada siswa. Seperti menyiapkan daftar hadir, mengecek kehadiran siswa, menyiapkan silabus, rencana dan pelaksanaan pembelajaran, serta memberikan sanksi kepada siswa. Manajemen kelas merupakan seperangkat perlengkapan (provisi) dan prosedur-prosedur yang diperlukan untuk menciptakan dan mempertahankan proses belajar pada diri siswa. Definisi ini menunjukkan kepada manajemen kelas komprehensif, untuk kegiatan pengelolaan perilaku siswa agar senantiasa sepenuhnya terlibat dalam aktivitas belajar di kelas. Jadi tujuan utama yang menjadi perhatian manajemen kelas adalah untuk mencapai kesuksesan belajar siswa. Instrumen-instrumen yang melengkapi menajemen kelas sesungguhnya diharapkan berfungsi untuk mengatur perilaku siswa yang ada di dalam kelas, sehingga keterlibatan siswa dalam aktivitas belajar menjadi maksimal.
Penanggung jawab langsung manajemen kelas adalah semua elemen yang ada dalam komunitas sekolah/madrasah. Termasuk siswa sendiri bertanggung jawab terhadap manajemen kelas, karena paradigma yang digunakan saat ini adalah bahwa siswa sendiri mampu mengelola dan bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Pendisiplinan siswa oleh guru, wali kelas, guru Bimbingan Konseling, Wakil Kepala Sekolah/Madrasah, dan kepala sekolah, bergeser kepada paradigma bahwa siswa sendiri dapat mendisiplinkan dirinya (self discipline).
Adanya pergeseran paradigma kepada pandangan tentang kemampuan siswa untuk mengatur dan bertanggung jawab terhadap perilaku sendiri, bukan berarti segalanya diserahkan kepada siswa. Antara paradigma baru dengan paradigma lama dapat saling melengkapi dan saling menguatkan. Paradigma baru mempertegas tentang peran sentral siswa dalam mengelola diri sendiri, yang sesungguhnya tidak terlepas dari fasilitasi dari faktor-faktor eksternal, perilaku, dan lingkungan siswa. Wali kelas, guru mata pelajaran, Ketua Murid (KM), dan semua elemen otoritas pada warga sekolah dapat berpengaruh terhadap keadaan kelas. Dengan demikian paradigma lama juga memiliki peranan dalam menjelaskan pengaruh faktor-faktor eksternal siswa yang dapat mempengaruhi siswa sebagai individu maupun sebagai kelompok.
Dalam aplikasinya, pendekatan pembelajaran dapat menempati posisi yang dapat memadukan berbagai pendekatan. Kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan yang secara langsung dapat mempengaruhi situasi kelas untuk dikondisikan kepada belajar. Moore menggambarkan pendekatan-pendekatan tersebut sebagai kontinum dalam gambar sebagai berikut



Gambar: Kontinum Model Manajemen Kelas
Sumber: Moore, 2005: 404

Gambar kontinum model manajemen kelas menunjukkan model berdasarkan perbedaan pendekatan dalam manajemen kelas. Fokus utama pendekatan self-discipline approach adalah siswa. Asumsi dasar pendekatan ini ialah bahwa individu siswa dapat diandalkan untuk mengevaluasi dan merubah perilaku mereka, sehingga dapat mencapai perilaku yang tepat untuk diri sendiri dan bagi kelas secara keseluruhan. Dalam pendekatan ini fungsi guru ialah menjalin hubungan baik dengan siswa. Metode-metode yang tercakup dalam model ini adalah guru membantu siswa untuk dapat bertanggung jawab menyelesaikan masalah yang dihadapinya (reality therapy, dan inner discipline), guru menjalin komunikasi yang bersahabat dan menjalin hubungan baik dengan siswa (teacher effectiveness), dan guru berusaha menciptakan suasana demokratis di kelas (beyond discipline).
Pendekatan pembelajaran juga merupakan bagian integral dalam manajemen kelas. Asumsinya adalah bahwa pembelajaran yang efektif akan meningkatkan keterlibatan siswa dalam belajar. Jacob Kounin (1970) memberikan perhatian utama kepada keterampilan guru dalam memberikan perhatian kepada siswa di dalam kelas.
Pedekatan yang lebih mengutamakan kepada disiplin siswa dengan pengawasan dari guru (desist approach) mengarah kepada model metode disiplin assertif. Istilah assertif sebenarnya mendekati pengertian memaksa. Namun demikian kita dapat saja paksaan secara mendidik dengan mengarahkan melalui pembelajaran yang efektif, karena daya tarik pembelajaran. Itulah model yang diajukan oleh Jones, yaitu melalui hubungan interpersonal yang menyenangkan dan bersahabat, namun tetap memberikan ketegasan dalam pelanggaran disiplin. Modifikasi perlaku juga digunakan melalui reinforcemen positif untuk perilaku yang tapat dan reinforcement negatif untuk perilaku yang tidak tepat.



Manajemen Kelas di era penerapan penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)
Akhir-akhir ini manajemen kelas kembali mendapat perhatian sehubungan dengan pentingnya guru sebagai manajer kelas, untuk menerapkan strategi manajemen kelas yang bersifat proaktif (preventif) dan reaktif. Secara lebih komprehensif manajemen kelas dapat diterapkan dalam pembelajaran melalui berbagai strategi yang bersifat antisipatif untuk mengarahkan siswa dalam belajar. Demikian pula perlu diterapkan manajemen kelas sebagai reaksi terhadap perilaku-perilaku yang tidak mendukung terhadap proses pembelajaran, yang pada gilirannya siswa secara kelompok menjadi tidak terlibat penuh dalam proses belajar. Manajemen kelas yang efektif berhubungan erat dengan pembelajaran kelas yang efektif, melalui pengimplementasian metode-metode pembelajaran yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar siswa.
Guru merupakan manajer belajar siswa di dalam kelas. Untuk mengelola (memenej) perilaku siswa, berarti berkaitan dengan pengorganisasian siswa, dan pengorganisasian kegiatan siswa, serta mengorganisasikan instrumen-instrumen yang berfungsi untuk tercapainya proses pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, yaitu siswa dapat belajar.
Sebagai makhluk sosial, siswa secara alamiah memiliki dorongan untuk berkelompok, memperkuat kelompok dan enjoy dalam kelompok. Berdasarkan teori identifikasi sosial, penguatan identitas kelompok dapat berpengaruh terhadap perilaku seseorang baik yang muncul sebagai perilaku kelompok, maupun perseorangan dengan semangat kelompok. Jadi bisa saja pengelolaan kelas bisa berbasis kelompok siswa, dengan pertanggung jawaban perseorangan dan kelompok.
Dengan dasar pentingnya mempertimbangkan kebutuhan individualitas siswa, guru sebagai manajer kelas dapat memperkuat kemandirian belajar siswa, meningkatkan komunikasi interpersonal, dan identitas sosial siswa, yaitu:
a. Mengembangkan inisiatif siswa dalam belajar
Pengembangan inisiatif siswa dalam belajar dapat dikembangkan melalui upaya-upaya guru atau agen pembelajaran lainnya yaitu: (1) mengajukan situasi masalah belajar yang harus diselesaikan siswa melalui berbagai upaya untuk mencapai tujuan khusus dalam rangka mencapai tujuan umum dan mengaitkannya dengan kebermaknaan pencapaian tujuan tersebut bagi cita-cita serta harapan masa depan siswa, sehingga siswa sendiri memaknai belajar sebagai kebutuhan dan kepentingan sendiri; (2) mengorientasikan tindakan siswa, yaitu agar tujuan yang sudah dimiliki dan ditetapkan siswa diorientasikan ke dalam rencana strategis dalam kegiatan belajar yang mencakup kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, (3) guru mendorong siswa agar pro-aktif untuk mencari solusi atas masalah belajar dengan menunjukkan cara-cara yang tepat untuk menghadapi masalah-masalah kesulitan belajar siswa dalam menghadapi suatu tugas, seperti cara-cara yang tepat untuk memahami buku pelajaran, mengingat informasi, atau melatih keterampilan tertentu, (4) mendorong dan membantu siswa agar tidak lekas menyerah dalam menyelesaikan dalam memecahkan masalah belajar, (5) dengan adanya tujuan yang dimiliki siswa, pengalaman menyelesaikan masalah belajar, maka siswa akan terdorong sendiri untuk belajar.
b. Mendorong Siswa untuk Banyak Akal dalam Belajar.
Banyak akal dalam belajar siswa ditunjukkan dengan kegiatan belajar yaitu: (1) antisipasi masa depan, dengan adanya kesadaran siswa tentang akibat yang akan diterima siswa dari keberhasilan belajar saat ini untuk masa depan mereka. Demikian pula siswa menyadari akan akibat yang akan diterima siswa di masa yang akan datang bila siswa gagal belajar saat ini, dan oleh karena itu, (2) siswa memprioritaskan belajar daripada kegiatan lain, pada saat banyaknya pilihan kegiatan yang bisa dilakukan siswa. Belajar bagi siswa adalah yang utama. (3) bahkan dengan banyaknya kesempatan berbagai kegiatan yang lebih menyenangkan, seperti banyaknya hiburan, siswa mampu menunda kesenangan sesaat seperti itu, (4) siswa memecahkan masalah sendiri dalam berbagai kegiatan belajar yang dihadapinya. Berbagai kesulitan belajar yang dihadapi siswa seringkali berkaitan dengan kesulitan dalam menghadapi tugas belajar, seperti dalam memahami suatu konsep atau suatu informasi.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk lulus dengan berbagai cara-cara manipulasi nilai oleh guru adalah prilaku yang tidak mendidik. Pengalaman siswa sendiri atau berdasarkan informasi dari orang lain, tentang kemudahan mendapatkan nilai kelulusan tanpa kerja keras siswa sendiri, bisa berakibat siswa semakin tidak berdaya dan tidak memiliki banyak akal dalam kegiatan belajar.
c. Mendorong Siswa untuk Persisten dalam Belajar.
Persisten adalah kemauan dan kemampuan untuk terus belajar sampai tujuan tercapai, meskipun ada rintangan. Persistensi dalam belajar berkaitan dengan aktivitas pengendalian diri dalam kegiatan belajar, yaitu (1) memfokuskan perhatian, (2) menggunakan strategi belajar yang tepat, (3) mengatur waktu belajar, (4) mencari bantuan, (5) penataan lingkungan belajar, (6) memonitor hasil belajar sendiri, (7) mengevaluasi hasil belajar sendiri, (8) atribusi hasil belajar sendiri, dan (9) mereaksi diri, berkaitan dengan penggunaan strategi belajar.
Siswa perlu mengetahui penyebab kegagalan dan pendukung keberhasilan belajar. Guru atau agen pembelajaran yang lainnya dapat membantu mengarahkan dan mendorong siswa baik dalam keadaan puas ataupun tidak puas dengan hasil yang dicapai, agar terus belajar.
Sedangkan dari upaya meningkatkan hubungan baik antara guru dengan siswa, dapat dilakukan melalui komunikasi interpersonal, yaitu:
a. Meningkatkan saling keterbukaan, dan saling percaya antara guru dengan siswa, dan sesama siswa berkaitan dengan apa yang dirasakan, dipikirkan, yang diketahui dan yang tidak diketahui. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara terbuka mengungkapkan berbagai masalah yang berkaitan dengan apa yang dipelajari dan kondisi-kondisi yang dialami siswa dalam mempelajarinya.
b. Meningkatkan komunikasi yang penuh empati, dan saling menyambut, terutama bagi guru dengan memahami keadaan siswa.
c. Meningkatkan komunikasi yang saling mendukung dan mengatur interaksi. Saling mendukung berarti tidak mengevaluasi kepribadian orang lain, sedengkan saling mengatur intraksi adalah menyesuaiakan proses komunikasi agar terus dalam situasi yang hangat, akrab dan saling menyenangkan. Kondisi tersebut bisa dibangung melalui pembelajaran kolaboratif dan kooperatif. Suasana keakraban juga bisa dibangun melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran yang tidak terbatas dalam kelas, namun juga dilakukan di luar kelas. Demikian juga hubungan antara guru dengan siswa tidak terbatas pada interaksi pembelajaran di dalam kelas, tetapi dalam suasana interaksi di masyarakat. Guru mampu memberikan penghargaan terhadap keunggulan, dan memberikan kritik terhadap perilaku siswa yang tidak produktif secara wajar. Kesempatan-kesempatan dalam forum atau antar pribadi untuk memberikan saling kritik membangun dapat dikembangkan di antara siswa dan guru dalam rangka meningkatkan proses dan hasil belajar dan pembelajaran.
d. Mengembangkan suasana komunikasi yang positif dan ekspressif. Sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, bukan didahuli oleh prasangka buruk merupakan kondisi awal untuk saling dapat menghargai. Sepatutnya guru memandang siswa sebagai sosok yang sedang mengembangkan potensi diri, sehingga guru dapat berperan menjadi fasilitator bagi siswa dalam membentuk kepribadiannya.
e. Kesejajaran dan berorientasi kepada orang lain. Guru tidak perlu mengambil jarak dengan siswa secara berlebihan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaktualisasikan diri dalam situasi yang penuh kekeluargaan. Guru memberikan teladan bagi siswa untuk menjadi pembicara dan pendengar yang baik sesuai alur pembicaraan.

Dari aspek penguatan identitas kelompok, yaitu:
Identitas sosial bagi siswa, mengindikasikan identifikasi diri siswa dalam lingkungan belajar, yang berkaitan dengan rasa kebersamaan, rasa memiliki dan perasaan bangga sebagai pribadi dalam kelas tertentu. Untuk meningkatkan identifikasi tersebut bisa dilakukan melalui pelibatan siswa dalam kelompok-kelompok yang menonjolkan ciri-ciri nilai kelompok yang bisa dibanggakan siswa dan dapat diterima secara umum.
Aspek penting dan pertama perlu diperhatikan berkaitan dengan identitas sosial siswa yang teridentifikasi dari aspek sosial lingkungan belajar siswa adalah agar siswa merasa diri sebagai siswa, sebagai anggota kelompok siswa, dengan ciri-ciri keanggotaan kelompok yang lebih mementingkan belajar; bukan sebaliknya, menonjolkan ciri-ciri kelompok yang “tidak terdidik”. Bila kondisi awal tersebut terwujud, maka proses transformasi pengetahuan, keterampilan dan sikap di sekolah bukanlah sesuatu yang terlalu sulit.
Penguatan identitas sosial siswa yang paling menonjol adalah dari ciri-ciri fisik yang nampak, seperti berpakaian, dan tingkah laku sehari-hari yang menunjukkan sebagai bagian dari keanggotaan kelompok sosial tertentu. Identitas sosial merupakan kebanggaan diri siswa menjadi bagian dari kelompok tertentu, yang karenanya dituntut untuk berperilaku sejalan tuntutan ciri-ciri keanggotaannya.

Tuesday, March 3, 2009

Kelompok Positif Semi Permanen bagi Siswa di Kelas

Istilah manajemen kelas, sebenarnya bukan hanya membicarakan kegiatan guru dalam catat-mencatat kegiatan pembelajaran. Seperti menyiapkan daftar hadir, mengecek kehadiran siswa, dan menyiapkan silabus dan rencana pembelaran.

Inti dari manajemen kelas adalah kegiatan mengelola perilaku siswa agar senantiasa sepenuhnya terlibat dalam aktivitas belajar di kelas. Jadi yang menjadi perhatian tujuan utama manajemen kelas adalah untuk mencapai kesuksesan belajar siswa. Instrumen-instrumen yang melengkapi kelas sesungguhnya diharapkan berfungsi untuk mengatur perilaku siswa yang ada di dalam kelas.

Guru merupakan manajer belajar siswa di dalam kelas. Untuk mengelola (memenej) perilaku siswa, berarti berkaitan dengan pengorganisasian siswa, dan pengorganisasian kegiatan siswa, serta mengorganisasikan instrumen-instrumen yang berfungsi untuk tercapainya proses pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, yaitu siswa dapat belajar.

Pengorganisasian siswa. Sebagai makhluk sosial, siswa secara alamiah memiliki dorongan untuk berkelompok, memperkuat kelompok dan enjoy dalam kelompok. Berdasarkan teori identifikasi sosial, penguatan identitas kelompok dapat berpengaruh terhadap perilaku seseorang baik yang muncul sebagai perilaku kelompok, maupun perseorangan dengan semangat kelompok. Jadi bisa jadi pengelolaan kelas bisa berbasis kelompok siswa, dengan pertanggung jawaban perseorangan dan kelompok.

Pengelompokkan yang paling sering dibicarakan adalah pengelompokan dalam satu sesi pelajaran tertentu. Menurut perkiraan hal ini tidak akan memberikan dampak yang lebih besar terhadap penjiwaan kelompok. Dalam hal ini saya mencoba mengasumsikan bahwa jika saja siswa ditempa dan 'dimanipulasi' dalam kelompok-kelompok misalnya untuk jangka waktu seminggu. Sekitar 5 menit setiap kelompok mencitrakan dirinya melalui 'yel-yel' kelompok positif dilakukan stiap pagi menjelang masuk sekolah dan sepulang sekolah. Tentu yang dimunculkan adalah kelompok-kelompok positif. Saya kira ini juga akan menggantikan identitas sosial kelompok-kelompok tawuran di jalanan. Jadi diharapkan kelompok-kelompok siswa tawuran di jalanan akan berkurang.

Ada kerjasama antar kelompok, demikian juga ada persaingan sehat antar kelompok. Pada setiap minggu komposisi kelompok berubah-rubah. Bagaimana jadinya, yah?

Siapa yang mau mengeksperimenkan gagasan ini?

Kita coba, yu! Kita coba, yu! Kita coba, yu!

Siapa mau mencoba duluan?

Bagi teman-teman yang mau mencoba, beri tahu pengembang pendidikan yah!
Atau kita diskusi dulu? Kalau begitu komentari saja tulisan ini. Mudah-mudahan menjadi gagasannya akan semakin meluas.

Friday, February 13, 2009

BELAJAR DARI KASEPUHAN PROF. H. A. TAFSIR DAN REKAN BU HAJJAH MARIA ULFA, M.Pd

Saya mencoba seikhlas mungkin untuk tahadduts bin-ni'mah tentang kelancaran seusai ujian disertasi terbuka di Universitas Negeri Jakarta tanggal 11 Februari 2009. Ketika beberapa "kasepuhan" dan rekan-rekan menyampaikan selamat, saya menjawab "terima kasih" dan "mohon do'a untuk selanjutnya mudah-mudahan gelar doktor menjadi mashlahat". Sebetulnya saya belum memiliki gambaran tentang mashlahat-nya itu seperti apa? Setahu saya arti mashlahat dari Prof. Atjep Jazuli secara operasional adalah bermanfaat. Demikian juga rincian manfaat jadi doktor itu seperti apa? Saya masih belum punya gambaran.

Salah seorang sesepuh yang saya temui adalah Prof. H. A. Tafsir. Saat menemui beliau pagi tanggal 13 Februari 2009, saya membuka pintu ruang kerja beliau di Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan menyampaikan salam, beliau sedang melayani konsultasi mahasiswa yang sedang menyusun tesis. Segera beliau menunjukkan muka yang sangat cerah dan berdiri dari kursinya untuk menyambut saya. Segera saya menyalami beliau, dan beliau merangkul saya sambil mengecup kening dengan penuh do'a. Saya menjadi sangat terharu.

Beberapa waktu berselang, saya sampaikan juga permohonan saya agar Prof. H. A. Tafsir berkenan mendo'akan saya agar saya lebih mashlahat. Beliau menyarankan agar saya segera menulis buku, sebab sa'at yang tepat menulis buku adalah pada waktu kita masih muda. Beliau mencontohkan dirinya sendiri, termasuk para tokoh lain yang sukses karena tulisan buku-bukunya. Kalau begitu yang disebut mashlahatnya doktor, di antaranya adalah karena karya-karya ilmu yang disebarluaskannya. Dalam hal ini kecerdasan Prof. Tafsir adalah mendo'akan dan menunjukkan cara untuk meraihnya.

Bu Hajjah Maria Ulfa, M.Pd termasuk rekan saya dari Jakarta yang selalu memberikan solusi cerdas tentang apa yang harus dilakukn. Maklum beliau ini memiliki 'terah' interprenership yang mengalir dari leluhurnya, sehingga selalu berpikir maju ke depan. Saya banyak berterima kasih atas kecerdasan yang disampaikannya. Komentarnya selalu melegakan, dan pertanyaan-pertanyaannya senantiasa menantang pikiran. "Rencana si bapak berikutnya apa?" demikian pertanyaan yang beliau sampaikan ke saya. Saya sempat bingung. Saya pikir benar juga pertanyaan itu. Lalu kira-kira apa yah… Akhirnya saya ingat lagi ke saran-saran Prof. H. A. Tafsir beberapa menit sebelumnya. Lalu saya jawab, menulis buku.

Terima kasih, dan saya bangga punya banyak sesepuh dan rekan-rekan yang memiliki kecerdasan beragam.